BERI.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai kebijakan unggulan pemerintahan Prabowo–Gibran kini berada di bawah sorotan serius.
Studi evaluasi independen bertajuk “Satu Tahun Makan (Tidak) Bergizi (Tidak) Gratis, yang diterbitkan Center of Economic and Law Studies (Celios) membeberkan temuan yang berlawanan dengan klaim keberhasilan pemerintah.
Kesimpulannya tegas, tidak satu pun dari empat tujuan utama MBG tercapai.
Studi ini menjadi evaluasi empiris pertama yang secara sistematis menilai dampak MBG setelah hampir satu tahun berjalan, di tengah absennya kajian resmi pemerintah.
Temuan Celios menunjukkan bahwa program dengan anggaran raksasa tersebut tidak hanya gagal memperbaiki gizi anak, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian kesehatan, sosial, dan fiskal dalam skala besar.
Gizi Tak Membaik, Beban Keluarga Tak Berkurang
Celios menemukan tidak ada bukti empiris bahwa MBG berhasil memperbaiki status gizi anak.
Mayoritas orang tua responden menyatakan tidak melihat kenaikan berat badan anak, maupun perubahan signifikan dalam kondisi kesehatan setelah menerima MBG.
Bahkan, klaim bahwa MBG meningkatkan fokus, keaktifan, dan kedisiplinan anak di sekolah juga terpatahkan oleh data.
Sebanyak 52 persen responden, menilai anak tidak menjadi lebih fokus dan aktif, sementara 55 persen menyatakan tingkat kerajinan anak tetap sama.
Di sisi ekonomi, program ini juga gagal meringankan beban rumah tangga.
Sebanyak 65 persen orang tua tetap harus mengeluarkan uang tambahan untuk menyediakan makanan pengganti karena porsi, kualitas, atau kecukupan MBG dinilai tidak memadai.
Menariknya, ketika diberikan pilihan, 73 persen responden justru lebih memilih bantuan langsung tunai (BLT) dibandingkan seporsi MBG senilai Rp10 ribu.
Dalam simulasi Celios, bantuan tunai Rp50 ribu per hari dinilai memberi fleksibilitas lebih besar bagi keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sesuai kondisi lokal dan preferensi rumah tangga.
Keracunan Massal dan Risiko Kesehatan Sistemik
Di balik jargon “makan bergizi”, studi ini mencatat lonjakan risiko keamanan pangan.
Hingga 15 November 2025, tercatat 15.117 korban keracunan akibat MBG di berbagai daerah.
Celios memperkirakan angka ini bisa melonjak menjadi 22.747 korban dalam tujuh bulan ke depan jika tidak ada reformasi tata kelola secara menyeluruh.
Kasus keracunan pertama bahkan muncul hanya 10 hari setelah program diluncurkan, menandai rapuhnya sistem pengawasan keamanan pangan.
Program berskala nasional ini dinilai dijalankan tanpa standar evaluasi kuantitatif yang memadai, meski anggaran MBG pada 2025 mencapai Rp71 triliun dan direncanakan melonjak menjadi Rp335 triliun pada 2026.
Tata Kelola Rapuh dan Konflik Kepentingan
Studi Celios juga menyoroti persoalan struktural dalam tata kelola MBG.
Sebanyak 79 persen responden menyadari adanya konflik kepentingan dalam penunjukan vendor yang cenderung dilakukan secara langsung.
Transparansi rantai pasok pun dipertanyakan, 48 persen responden tidak mengetahui keterlibatan UMKM atau warung lokal, padahal salah satu tujuan MBG adalah pemberdayaan ekonomi lokal.
Alih-alih menciptakan lapangan kerja luas, 40 persen responden menilai manfaat pekerjaan hanya dinikmati segelintir pihak.
Bahkan, penyeragaman menu MBG dinilai mengancam 747 jenis pangan lokal dan membuat 1,94 juta pekerja sektor makanan berada dalam posisi rentan kehilangan pekerjaan.
Empat Tujuan, Nol yang Tercapai
Celios merangkum evaluasinya dengan checklist yang mencolok:
1. Memperbaiki status gizi anak (tidak tercapai)
2. Mengurangi beban ekonomi rumah tangga (tidak tercapai)
3. Pemberdayaan pelaku ekonomi lokal (tidak tercapai)
4. Penciptaan lapangan kerja baru (tidak tercapai)
Kesimpulan akhirnya: 0 dari 4 tujuan MBG tercapai.
Tanpa Payung Hukum, Tanpa Evaluasi
Studi ini juga mengungkap fakta krusial bahwa hampir satu tahun pelaksanaan MBG berjalan tanpa Peraturan Presiden khusus.
Perpres Tata Kelola MBG baru ditetapkan pada 17 November 2025, jauh setelah program berjalan.
Artinya, juknis dan SOP yang digunakan sebelumnya beroperasi dalam ruang abu-abu regulasi, membuka celah penyalahgunaan anggaran dan lemahnya akuntabilitas.
Ironisnya, pemerintah terus mengampanyekan klaim keberhasilan dengan indikator output administratif, seperti jumlah siswa penerima dan porsi makanan terdistribusi, bahkan Presiden mengklaim tingkat keberhasilan 99,99 persen.
Celios menilai klaim ini menyesatkan karena cakupan distribusi bukan indikator dampak kebijakan.
Studi ini kemudian mengajukan 10 langkah reformasi radikal, mulai dari moratorium dan audit total, restrukturisasi kepemimpinan Badan Gizi Nasional, desentralisasi dapur berbasis sekolah dan UMKM lokal, hingga transformasi MBG menjadi dua skema, direct meal untuk wilayah prioritas dan voucher gizi atau BLT bagi kelompok rentan.
“Evaluasi tidak dilakukan setelah uang rakyat habis dan korban berjatuhan. Jika itu terjadi, bukan evaluasi namanya, melainkan otopsi kebijakan,” tulis studi tersebut. (lis)







