Beri.id, SAMARINDA – Selama Tiga tahun terakhir, Sebagai Ibu Kota provinsi Kalimantan Timur, tingkat perceraian dikota Samarinda terus mengalami peningkatan.
Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Kelas 1-A Samarinda, Pada tahun 2016, angka perceraian mencapai 1.609 perkara. Kemudian pada tahun 2017 mencapai 1.665 perkara, sementara untuk tahun 2018, angka perceraian naik signifikan menjadi 1.841 perkara.
Untuk tahun 2019, kantor pengadilan agama Kelas 1-A Samarinda mencatat, hingga Kamis 12 Desember, berjumlah 2.208 perkara perceraian masuk di Pengadilan, terdapat 1.767 pasangan telah resmi bercerai sepanjang Januari hingga November 2019.
Muhammad Rizal, Panitera Muda Pengadilan Agama Kelas I A Samarinda mengatakan sepanjang 2019 jumlah perkara yang masuk mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018.
Kendati demikian, dari seluruh perkara perceraian, tidak semuanya dikabulkan atau masuk menjadi putusan.
“Perkara ada yang ditolak, dicabut, dan mediasi. Bagi yang ditolak, berarti tidak bisa membuktikan perkara di dalam persidangan.” Sebutnya
“Jadi harus sama-sama membuktikan bahwa benar-benar sudah tidak rukun lagi. Misalnya akibat pertengkaran. Mereka harus membuktikan pertengkaran itu. Dan harus ada saksi 2 orang,” sambung Rizal.
Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan, sebanyak 1697. Sedangkan pihak laki-laki inisiatif perceriaian lebih sedikit, sebanyak 511 orang.
Tiga Faktor Jadi Tertinggi Penyebab Perceraian
Umumnya penyebab tingginya angka perceraian didominasi pertengkaran antara kedua belah pihak, diikuti karena faktor ekonomi.
Rizal menjelaskan, ada 13 kategori faktor penyebab perceraian. Namun ada tiga faktor yang paling dominan penyebab tingginya angka perceraian.
Perselisihan dan pertengkaran menduduki peringkat pertama, hingga mencapai 869 perceraian.
Kedua disebabkan faktor ekonomi sebanyak 362 perceraian. Selanjutnya disebabkan meninggalkan salah satu pihak sebanyak 348 perceraian. Namun begitu kata Rizal, permasalahan ekonomi menjadi faktor utama dalam perceraian.
“Jadi sebenarnya, setiap tahun mayoritas perceraian sebenarnya faktor ekonomi,” ucapnya.
Usia 30 – 40 Tahun Dominasi Angka Percerain
Rizal menyebutkan dari perkara yang ditangani dan ia ikuti proses persidangannya, rata-rata perceraian tahun 2019 didominasi usia 30 hingga 40 tahun.
Sementara untuk perceraian pasangan usia dini terbilang sedikit,” namun ada” kata Rizal.
Rizal menjelaskan bahwa pihaknya tidak mencantumkan usia dalam data laporan. Alasannya karena memang tidak ada format laporan yang dibuat khusus usia. Hanya pada berapa jumlah perkara masuk dan yang menjadi putusan, serta faktor penyebab perceraian.
Tren perceraian dapat dilihat dari jumlah perkara yang masuk. Rata-rata pengadilan agama sedikitnya menerima 10 hingga 15 orang pemohon pengajuan perkara perceraian per hari.
Dari total 2.367 perkara yang masuk, 70 hingga 80 persennya perkara perceraian. Pengadilan agama setidaknya per hari mengeluarkan 20 akta perceraian. Dari jumlah Itu dapat diketahui berapa pasangan yang resmi bercerai setiap harinya.
“Setiap harinya rata-rata persidangan, terkait harta bersama, harta waris, hak asuh anak hingga putusan. Rata-rata yang kami terima seluruhnya, sekitar 20 hingga 30 perkara perceraian. Jadi Lebih banyak sidang putusan daripada diterima,” tutupnya.
Dari seluruh perkara, faktor penyebab perceraian ditengarai kawin paksa berada di urutan terakhir. Yakni enam perceraian sepanjang 2019. Sementara untuk jumlah suami yang mengajukan izin poligami dan direstui pengadilan agama, hanya lima orang.
(Arm/*)