BERI.ID – Nama Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno kembali mengemuka dalam percakapan publik nasional. Bukan karena masa lalunya sebagai Panglima TNI yang disegani di era Orde Baru, melainkan karena peran barunya sebagai suara moral yang vokal mendorong perubahan dalam kepemimpinan nasional—khususnya terkait posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Sebagai Wakil Presiden ke-6 RI dan tokoh senior militer, Try Sutrisno kini tampil di garda depan Forum Purnawirawan TNI yang secara terbuka mengusulkan 8 tuntutan kepada pemerintah.
Poin paling menyita perhatian adalah dorongan agar MPR mengganti Wakil Presiden dengan alasan pelanggaran hukum terkait putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam pernyataan resmi forum tersebut, Try dan sejumlah purnawirawan jenderal lain menilai bahwa langkah itu penting untuk menjaga marwah konstitusi dan etika dalam sistem ketatanegaraan. Bukan sekadar protes politis, melainkan panggilan hati dari para mantan prajurit yang merasa nilai-nilai dasar Sapta Marga mulai diabaikan.
Dari Garis Depan Medan Tempur ke Medan Kritik Politik
Try Sutrisno memang bukan sembarang jenderal. Lahir di Surabaya dan mengawali karier militer sejak dekade 50-an, ia dikenal tangguh saat menumpas PRRI, hingga akhirnya menjabat Panglima TNI pada 1988–1993. Reputasinya sebagai ajudan Soeharto memperkuat posisinya dalam lingkaran elite Orde Baru, hingga ia didapuk menjadi Wapres RI ke-6 pada 1993.
Kini, di usia senjanya, Try tidak tinggal diam. Suaranya justru semakin tegas. Ia menyuarakan keresahan purnawirawan terhadap berbagai kebijakan pemerintah, termasuk proyek-proyek nasional yang dianggap menyengsarakan rakyat hingga ancaman terhadap kedaulatan hukum negara.
Isyarat Tegas ke Pemerintahan Baru
Desakan Try dan koleganya datang di saat Presiden terpilih Prabowo Subianto baru bersiap membentuk kabinet. Lewat pernyataan yang disampaikan oleh Penasihat Khusus Presiden, Wiranto, Prabowo disebut menghormati masukan para purnawirawan, namun juga menegaskan bahwa keputusan negara tidak bisa didasarkan pada satu pihak saja.
Namun posisi Try tidak bergeming. Ia menempatkan dirinya bukan sebagai oposisi politik, melainkan sebagai penjaga moral dan etika kenegaraan. Bagi Try, kesetiaan pada konstitusi dan rasa keadilan publik adalah panglima utama.
Sinyal Tegas ke Gibran?
Apakah ini sinyal bahwa legitimasi Gibran akan terus dipertanyakan? Belum bisa diketahui.
Tetapi, sosok dan nama Try Sutrisno memiliki bobot sejarah dan simbolik besar—seorang jenderal yang tak hanya pernah memimpin angkatan bersenjata, tetapi juga pernah menjadi bagian dari kekuasaan tertinggi negeri ini.
Bukan tidak mungkin, tekanan moral dari tokoh sekaliber Try bisa menjadi preseden penting dalam diskursus politik nasional.
Di tengah kegaduhan elit dan minimnya sikap kritis dari lembaga politik, suara purnawirawan seperti Try Sutrisno justru bisa menjadi jangkar etis dalam menjaga arah demokrasi. (len)