Konflik Lahan, Petani Lawan Perusahaan di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, Kabupaten Berau
Oleh : Natalis Wada, SH.
Pada banyak kasus hukum berkenaan dengan konflik lahan, Petani selalu menjadi kelompok yang rentan dengan praktik penegakan hukum secara tidak adil dan intimidatif. Ada bebrapa alasan mengenai ini, pertama: keterbatasan mereka dalam mengakses informasi hukum yang kompeten bagi pembelaan hak-haknya; kedua, klaim-klaim hak yang mereka punyai berbenturan dengan aturan-aturan hukum dari pemerintah; ketiga, ketika yang dilawan adalah perusahaan yang mempunyai akses yang mumpuni bagi kepentingan perusahaan; keempat, petani kesulitan membuktikan hak-hak mereka sesuai dengan kemauan hukum formal; kelima, jangka waktu penyelesaian konflik yang bertele-tele dalam prosesnya. Dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Catatan ini dengan maksud mengkonfirmasi secara singkat, bagaimana secara konstitusional hak-hak petani atas tanah dilindungi, ketika berhadapan dengan kepentingan besar dibalik banyaknya regulasi sektoral pengelolaan sumber daya agraria. Sekaligus mengekspose kepada publik, perihal upaya pemidanaan Petani dalam kasus “Protes Petani terhadap Pelebaran Jalan Koridor di atas Tanah Hak Klaim Terdakwa”, yang oleh Jaksa Penuntut Umum –dalam perkara pidana, Nomor: 271/Pid.B/2017/PN.Tnr, dianggap sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 162 UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Persoalan pada ekspose awal ini, bahwa Jaksa Penuntut Umum menggunakan klaim Kawasan Hutan untuk meredam hak petani atas tanah, dengan begitu membolehkan klaim perusahaan di atas tanah hak petani. Kejadian seperti ini pada kenyataanya juga sudah merupakan masalah pokok dalam konflik agraria di Indonesia.
Kawasan Hutan dalam Berapa Koreksi oleh Mahkamah Konstitusi
Berikut beberapa koreksi secara konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sebagai rujukan mengenai satus kawasan hutan ketika berhadapan dengan kepentigan-kepentingan masyarakat lokal, sebagai berikut:
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 34/PUU-IX/2011, dalam koreksi terhadap Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.”
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 45/PUU-IX/2011, koreksi terhadap frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 95/PUU-XII/2014, koreksi terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf (e) dan huruf (i) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Ada dua poin penting yang perlu digaris-bawahi berkenaan dengan koreksi di atas,: 1) bahwa penunjukan dan atau penetapan kawasan hutan tidak berarti dengan sewenang-wenang menutup akses masyarakat terhadap kawasan hutan, serta pengakuan terhadap masyarakat yang secara turun-temurun mengakses kawasan hutan; 2) bahwa penunjukan dan atau penetapan kawasan hutan, dilakukan melalui proses kegiatan pengukuhan kawasan hutan supaya menjamin kepastian hukumnya, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 14, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan otoritarianisme dan karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam UUD 1945. Koreksi-koreksi tersebut dengan maksud untuk meneguhkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yaitu setiap perbuatan administrasi negara harus melalui tahap pemberian informasi yang layak dan permintaan persetujuan masyarakat yang akan terkena dampaknya. Bahwa di dalam proses pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah, hak-hak individu dan hak pertuanan (ulayat). Apabila ada hak-hak individu dan hak ulayat, maka dalam pemetaan batas kawasan hutan, pemerintah harus mengeluarkan hak-hak tersebut dari kawasan hutan (Yance Arizona, S.H., M.H., Siti Rakhma Mary, S.H., M.Si. dan Grahat Nagara, S.H., 2012., Anotasi Putusan MK. Nomor: 45/PUU-IX/2011 (Mengenai Pengujian Konstitusionalitas Kawasan Hutan Dalam Pasal 1 Angka 3 UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan)., Jakarta., Perkumpulan HuMA., Halaman 8-11).
Kawasan Hutan di Kalimantan Timur
Perkembangan kawasan hutan di Kalimantan Timur, sebenarnya sudah melalui beberapa kali perubahan dalam tahun 1983-2014, sebagai berikut:
Penunjukan kawasan hutan menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 024/Kpts/Um/1/1983, di mana luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Timur adalah seluas 21.144.000. Ha (dua puluh satu juta seratus empat puluh empat ribu hektar);
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) sesuai Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 12 Tahun 1983 yang disusun berdasarkan RTRW masing-masing Kabupaten yang mengacu pada TGHK tersebut dengan mempertimbangkan rencana pembangunan dan pengembangan daerah;
Penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi seluas 14.651.553 Ha (empat belas juta enam ratus lima puluh satu ribu lima ratus lima puluh tiga hektar) yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 79/Kpts-II/2001, tanggal 15 Maret 2001;
Kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.718/Menhut-II/2014 Tentang Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur Dan Provinsi Kalimantan Utara.
Hingga tahun 2001, status kawasan hutan di Kalimantan Timur masih berupa penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi yang dituangkan dalam Kepmenhut Nomor: 79/Kpts-II/2001. Dengan keputusan ini, status kawasan untuk areal kawasan dari km.0 (Log Pond PT. Inhutani) s/d km.12 (batas areal KBNK dengan PT. Tanjung Redeb Hutani) tersebut telah berubah statusnya menjadi Kawasan Budidaya Non Kehutanan. Sedangkan tanah klaim hak terdakwa sesuai dengan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah -2 November 1997, tepatnya berada di kilometer 6 pada areal KBNK ini. Di dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dalilnya bahwa sebelum tahun 2001, areal kawasan di mana tanah klaim hak terdakwa berada termasuk ke dalam kawasan hutan. Sehingga klaim sesuai Surat Pernyataan Penguasaan Tanah -2 November 1997 tidak dibenarkan.
Persoalannya ialah apakah status kawasan hutan di Kalimantan Timur sebelum tahun 2001? Bagaimana kaitannya dengan koreksi-koreksi oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, khususnya pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 45/PUU-IX/2011? Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak/belum menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok tersebut. Bahwa koreksi-koreksi secara konstitusional mengenai UU 41/1999 tentang Kehutanan tersebut, harusnya menjadi pertimbangan dasar terutama ketika klaim kawasan hutan ini berhadapan dengan hak klaim petani.
Jawaban Jaksa Penuntut Umum terhadap Nota Pembelaan Penasehat Hukum terdakwa, juga mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 45/PUU-IX/2011, bahwa meskipun koreksi terhadap frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU 41/1999, namun frasa ini tetap berlaku pada Pasal 81 UU 41/1999. Dengan begitu Jaksa Penuntut Umum tetap mengklaim kawasan hutan, kemudian merujuk PP 28/1985 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 6 ayat (1), bahwa “Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin Menteri.” Mengutip ketentuan ini tentu saja dengan maksud membatasi akses masyarakat –petani atas kawasan hutan, dan menegakan dominasi negara atas sumberdaya agraria, yang justru tidak jauh berbeda dengan praktik domein verklaring seperti pada periode kolonialisme Belanda.
Kesimpulan
Tujuan klaim kawasan hutan tersebut (di dalam dakwaannya hanya merujuk Peta Rencana Tata Ruang Provinsi Kalimantan Timur Tahun 1990), ialah untuk memaksakan penerapan Pasal 162 UU 4/2009, dengan mengubah “protes petani” menjadi suatu “perbuatan melanggar undang-undang”. Menurut Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H. –dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2010, pasal 162 UU 4/2009 hanya dapat diberlakukan kalau kewajiban hukum dari Pemegang IUP atau IUPK yang diatur dalam Pasal 136 UU 4/2009 sudah diselesaikan. Namun, jika dianggap sebagai suatu tindakan pidana sesuai ketentuan UU 4/2009 Pasal 162 (Wetsdelict), maka perlu diuraikan unsur dan elemen perbuatan pidananya (strafbaarfeit).
Van Bammelen membedakan bestanddeel (unsur) dengan elemen dari perbuatan pidana. Unsur adalah apa yang ada dalam rumusan delik. Elemen adalah syarat untuk dapat dipidananya orang yang terdapat diluar rumusan delik. Apakah hak petani atas tanah dimaksud bertentangan dengan syarat ini atau tidak, apakah syarat-syarat itu dalam konteks Hukum Indonesia, semuanya tergantung pada pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya nanti. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum justru tidak membuktikan syarat 136 UU 4/2009, tetapi malah bersembunyi di dalam kawasan hutan.
*)Isian pada kolom pojok suara adalah tanggung jawab penulis tertera, tidak menjadi tanggung jawab redaksi beritainspirasi.info