BERI.ID – Desakan untuk persoalan Depot Pertamina di kawasan padat penduduk di Samarinda bermunculan.
Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, Samri Shaputra menyoroti keresahan warga Samarinda yang memuncak terkait keberadaan Depot Pertamina di kawasan padat penduduk, lokasi penyimpanan bahan bakar tersebut dinilai bukan hanya menyalahi aturan tata ruang, melainkan juga menjadi bom waktu yang bisa sewaktu-waktu mengancam keselamatan ribuan jiwa.
Ditegaskannya, DPRD Samarinda tidak bisa lagi berdiam diri melihat lambannya realisasi relokasi Pertamina ke Palaran, meski rencana tersebut sudah bergulir sejak 2019.
“Kawasan sekarang sangat padat penduduk. Dari sisi tata ruang pun tidak sesuai lagi dengan RTRW baru yang kami sahkan. DPRD akan segera memanggil manajemen Pertamina untuk meminta penjelasan tentang progres relokasi, sekaligus menyiapkan langkah tinjauan lapangan,” tegas Samri, Rabu (6/8/2025).
Janji Relokasi yang Mangkrak Sejak 2019
Rencana pemindahan Depot Pertamina ke Palaran sejatinya bukan hal baru. Bahkan, pada 2019 lalu sudah dilakukan peletakan batu pertama dan pembangunan tembok kawasan.
Namun hingga kini, proyek tersebut terhenti di tengah jalan. Informasi yang berkembang, mandeknya proyek disebabkan belum adanya pemenang tender resmi.
Setiap hari, ribuan liter bahan bakar disimpan di tengah kawasan permukiman, menimbulkan ancaman serius apabila terjadi kebakaran atau insiden lain.
PMII Samarinda: Keselamatan Warga Tidak Bisa Ditawar
Desakan agar relokasi segera diwujudkan juga datang dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Samarinda. Mereka menilai pemerintah daerah dan DPRD terlalu lemah menekan Pertamina.
Ketua Umum Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Samarinda, Taufikuddin, menegaskan bahwa keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama.
”Sejak 2019 batu pertama sudah diletakkan, tapi relokasi tidak jalan karena tender mangkrak. Ini tidak bisa terus dibiarkan. Kami mendesak DPRD mengevaluasi kinerja agar serius memperjuangkan pemindahan depot ke Palaran,” ujarnya.
Ia menambahkan, persoalan ini menyangkut hak dasar masyarakat atas perlindungan dan rasa aman.
“Kita bicara soal nyawa ribuan orang. Jangan tunggu ada tragedi dulu baru pemerintah bertindak. Warga berhak hidup aman tanpa ancaman ledakan atau kebakaran besar,” tegas Taufikuddin.
Sorotan Perizinan Longgar: Kasus Big Mall Jadi Pelajaran
Selain soal Pertamina, PMII juga mengungkap masalah serius lain, yakni lemahnya pengawasan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Menurut mereka, banyak izin usaha yang dikeluarkan tanpa kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang memadai.
“Big Mall jelas tidak memenuhi standar keamanan. Tidak ada alarm, tidak ada sistem penyemprotan, fasilitas pemadam api pun minim. Ini membahayakan pengunjung maupun pekerja,” ungkap Taufikuddin.
Ia menilai, praktik pemberian izin semacam ini membuka peluang lahirnya bencana baru.
“DPRD harus segera melakukan sidak dan menghentikan izin usaha yang tidak memenuhi standar. Keselamatan warga jangan dikorbankan demi kepentingan bisnis,” ujarnya.
Menanggapi aspirasi mahasiswa, DPRD mengaku akan menindaklanjuti dengan langkah nyata. Samri menyebut aksi damai PMII patut diapresiasi karena tertib dan berbasis data.
“Aspirasi mereka jelas dan beretika. Kami akan tindak lanjuti dengan membuka ruang diskusi bersama mahasiswa, dinas terkait, dan pihak Pertamina. Tidak boleh lagi ada janji kosong,” katanya.
PMII pun menyatakan siap menyiapkan data tambahan untuk memperkuat posisi mereka dalam pertemuan lanjutan, dengan harapan relokasi Depot Pertamina benar-benar terealisasi dan bukan sekadar rencana di atas kertas. (lis)