JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengecam keras tindakan represif oknum aparat, terhadap massa demonstrasi penolakan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, di depan Kantor DPRD Kaltim, Samarinda, Jalan Teuku Umar, Kamis petang (05/11) lalu.
“Apa yang dialami sejumlah massa aksi di Samarinda, pada aksi Kamis lalu, wujud rezim otoriter. Aparat telah bertindak di luar dari rasa kemanusiaannya. Mengedepankan emosional, dan tidak profesional,” kata Ketua DPP GMNI Bidang Media dan Propaganda (Medpro), Ariyansah.
Pasalnya, pada aksi itu, sejumlah massa aksi mendapat represif. Ketika aparat kepolisian melakukan pembubaran kepada massa. Beberapa di antaranya, ada yang ditendang, dipeteng, ditusuk dengan tongkat aparat dan dipukuli.
“Ada juga yang diamankan, dengan menerima tindakan represif, lalu dicukur paksa rambutnya. Ini tidak sesuai dengan prosedur penanganan dan pengamanan massa aksi. Polisi sebagai aparat telah bertindak di luar prosedur,” katanya.
Aparat kepolisian, saat massa dibubarkan, ada yang keluar dari barisan. Mengejar massa aksi dan melakukan tindakan represif. “Itu tidak sesuai dengan protap dalmas dalam Perkapolri,” ujarnya.
Pada aksi tersebut, ada sembilan mahasiswa yang diamankan. Dua di antaranya dijadikan tersangka. Sementara tujuh lainnya sudah dibebaskan. PP GMNI bersolidaritas.
“Apa alasan massa aksi ditetapkan sebagai tersangka. Kami minta agar kawan-kawan yang ditetapkan jadi tersangka, dicabut status tersangkanya. Dan harus dibebaskan. Kawan-kawan kami itu, melakukan demonstrasi, bukan berniat melakukan tindakan kriminal. Jadi tidak ada alasan untuk tidak membebaskan mereka,” tuturnya.
DPP GMNI menginstruksikan kepada pimpinan daerah GMNI dan pimpinan cabang GMNI untuk mengawal dua massa aksi tersebut. Hingga dibebaskan. Melakukan upaya-upaya konsolidasi guna menguatkan dorongan agar kepolisian membebaskan dua massa aksi itu.
Ketua DPD GMNI Kaltim, Muhammad Akbar juga berkomentar. Terhadap tindakan represif kepada massa aksi itu. “Beberapa kali aksi di depan Kantor DPRD Kaltim, massa selalu mendapat tindakan represif dari aparat kepolisian. Baik yang berseragam maupun berpakaian biasa (sipil),” katanya.
Terhadap dua massa aksi yang kini masih ditahan, pihaknya bersama mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahakam masih terus melakukan upaya agar keduanya dibebaskan.
“Terhadap kawan kami Wisnu Juliansyah dan Firman Ramadani, kami minta agar dibebaskan. Tindakan aparat dalam melakukan pengamanan, bisa dikatakan menunjukkan tindakan yang tidak menghormati norma hukum yang berlaku,” ujarnya.
Ketua DPC GMNI Samarinda, Dodi juga mengecam tindakan represif aparat. Juga meminta agar dua massa aksi yang ditahan, segera dibebaskan.
Terhadap sejumlah massa yang direpresif, kata Dodi, salah satunya kader GMNI. Namanya Bagus. Ia dipukul di badan dan di kepalanya. Hingga kepalanya terluka. Dan harus mendapat penanganan medis, dengan 3 jahitan di kepalanya.
“Kami mengecam dan mengutuk represifitas oknum aparat terhadap massa aksi Aliansi Mahakam dan seluruh gerakan massa di Indonesia. Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen massa rakyat untuk tetap mencabut UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mengenai kawan-kawan yang ditahan, kami akan terus bersolidaritas untuk kebebasan mereka tanpa syarat,” tekannya. (AS)