Satu Tahun MBG Ungkap 15.117 Keracunan, CELIOS NIlai Tata Kelola Gagal Total

Alur pencairan dana MBG. (Foto: Studi CELIOS, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bantuan Pemerintah untuk Program MBG Tahun Anggaran 2025)

BERI.ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejak awal digadang sebagai intervensi negara untuk memperbaiki gizi anak justru berubah menjadi alarm nasional.

Alih-alih menyehatkan, implementasi MBG sepanjang tahun pertama memperlihatkan pola kegagalan berlapis, baik keracunan massal yang berulang, kerugian ekonomi miliaran rupiah, tata kelola anggaran yang menyimpang, eksploitasi tenaga kerja, hingga dominasi militer dalam kebijakan sipil.

Temuan ini tertuang gamblang dalam studi evaluasi satu tahun MBG yang dirilis Center of Economic and Law Studies (CELIOS).

Simplenya, persoalan MBG bukan insiden teknis, melainkan kegagalan sistemik.

Keracunan Massal Bukan Insiden, tapi Pola

Sejak awal pelaksanaan hingga 15 November 2025, CELIOS mencatat sedikitnya 15.117 penerima manfaat mengalami keracunan makanan, yang terkait langsung dengan MBG.

Angka ini melonjak drastis dari bulan ke bulan.

Dari insiden sporadis di awal tahun, kasus keracunan membengkak menjadi ribuan pada Agustus dan September, lalu mencapai puncaknya pada Oktober dengan 6.463 korban dalam satu bulan.

Lonjakan ini memperlihatkan kegagalan pengawasan keamanan pangan yang kronis.

Pola kejadian berulang tanpa perbaikan bermakna menunjukkan bahwa masalah MBG jauh dari sekadar kelalaian lapangan.

CELIOS menilai negara gagal memastikan standar keamanan pangan dijalankan secara konsisten, sementara Badan Gizi Nasional (BGN) tidak menunjukkan kapasitas korektif yang memadai.

Keracunan MBG telah menjelma menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyebar dari Aceh hingga Papua Barat.

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta mencatat jumlah korban tertinggi, namun provinsi dengan jumlah penduduk kecil seperti Bengkulu, NTT, dan Lampung pun mencatat ratusan korban.

Ini menegaskan satu hal, kegagalan MBG bersifat nasional, bukan lokal.

Lebih mengkhawatirkan lagi, proyeksi CELIOS menunjukkan bahwa jumlah korban berpotensi melonjak hingga 22.747 orang pada pertengahan 2026, atau naik lebih dari 50 persen dalam tujuh bulan ke depan jika tidak ada intervensi serius.

Kerugian Ekonomi: Miliaran Rupiah Menguap

Keracunan MBG tidak berhenti pada dampak kesehatan.

Dengan menggunakan pendekatan Cost of Illness (COI) atau biaya penyakit, CELIOS menghitung beban ekonomi yang ditanggung masyarakat dan negara.

Dalam skenario paling konservatif, tanpa rawat inap, kerugian ekonomi telah mencapai hampir Rp4 miliar, terutama akibat hilangnya produktivitas keluarga.

Ketika proporsi rawat inap meningkat, kerugian melonjak tajam hingga Rp8,4 miliar bahkan Rp14 miliar.

Fakta pentingnya, kerugian produktivitas jauh lebih besar dibanding biaya medis.

Artinya, dampak keracunan MBG menekan pendapatan keluarga, memperburuk ekonomi lokal, dan membebani sistem kesehatan sekaligus.

Bahkan ketika menggunakan data versi BGN yang lebih rendah 636 rawat inap dan 11.004 rawat jalan, kerugian tetap mencapai Rp5,79 miliar.

Ini menunjukkan bahwa berapa pun angka yang dipakai, MBG telah menciptakan beban ekonomi nyata yang seharusnya bisa dicegah.

Pengadaan Diselundupkan, Anggaran Dipangkas

CELIOS menemukan bahwa penyaluran anggaran MBG melanggar prinsip pengadaan negara.

Program ini dijalankan dengan skema bantuan pemerintah, namun dalam praktiknya mitra dapur berfungsi layaknya penyedia jasa tanpa proses tender resmi.

Skema tersebut membuka ruang procurement bypass atau penyelundupan pengadaan, karena pemerintah menghindari mekanisme kontrak terbuka, transparansi harga, dan akuntabilitas kinerja.

Dampaknya biaya per porsi yang semula Rp15.000 menyusut hingga Rp13.000, menekan kualitas bahan pangan.

Ironisnya, pemerintah tidak memiliki kewajiban wanprestasi terhadap mitra dapur karena ketiadaan kontrak kerja yang jelas.

Risiko sepenuhnya dilempar ke pelaksana lapangan.

Bantuan Pemerintah Berbelit dan Rawan Terlambat

Skema bantuan pemerintah MBG bahkan dinilai CELIOS berbelit dan rawan keterlambatan.

Berdasarkan petunjuk teknis, mitra harus mengajukan proposal dana operasional maksimal dua minggu atau 10 hari aktif sekolah sebelum program berjalan.

Dana yang dicairkan oleh KPPN tidak langsung diterima mitra dapur, melainkan harus melalui rekening SPPG atau yayasan terlebih dahulu.

Ketika terjadi kekurangan administrasi di salah satu tahapan verifikasi, keterlambatan pembayaran menjadi nyaris tak terhindarkan.

Ironisnya, sistem pelacakan pembayaran belum transparan dan real-time.

Mitra di lapangan hanya mengandalkan informasi informal melalui pesan pribadi, tanpa kepastian status pencairan.

Bagi mitra dapur dengan modal terbatas, kondisi ini sangat memberatkan.

Relawan dan staf dapur pun berada dalam posisi rentan karena honorarium kerap terlambat dibayarkan.

Digitalisasi Tak Menyentuh Akar Masalah

Alur pencairan dana yang panjang dimulai dari penetapan SPPG/yayasan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dilanjutkan pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Surat Perintah Membayar (SPM) melalui aplikasi SAKTI, hingga terbitnya Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

Meski petunjuk teknis mengatur penggunaan virtual account (VA) untuk mempercepat pencairan, langkah ini dinilai belum menyelesaikan persoalan mendasar.

Digitalisasi hanya memindahkan antrean ke tahap awal verifikasi, sementara hambatan birokrasi antar lembaga tetap tak tersentuh.

Akibatnya, durasi pencairan dana tetap tidak pasti karena tidak ada batas waktu rinci di setiap tahapan.

Dampak Langsung: Kualitas Gizi Tergerus

Keterlambatan pembayaran menciptakan tekanan berat di rantai penyediaan makanan.

Mitra dapur sebagai ujung tombak operasional harus menalangi biaya bahan baku, tenaga kerja, dan logistik dengan dana pribadi sambil menunggu pencairan yang tak menentu.

Dalam situasi terjepit, sejumlah dapur terpaksa mengurangi porsi, mengganti bahan dengan kualitas lebih rendah, atau menunda distribusi.

Dampaknya langsung terasa pada standar gizi dan kontinuitas layanan, bertolak belakang dengan tujuan utama program.

Ketidakpastian pembayaran juga menggerus kepercayaan mitra, memicu konflik antara mitra dapur dengan SPPG/yayasan, bahkan berpotensi merembet ke hubungan dengan pemerintah daerah.

Anggaran Bocor, Tujuan Program Terancam

Efek domino keterlambatan pembayaran turut memicu inefisiensi biaya distribusi.

Dapur harus mengatur ulang jadwal pengiriman, membeli bahan pangan dengan harga yang sudah naik, atau menanggung denda dari pemasok lokal.

Dalam kasus ekstrem, mitra mengalami kerugian finansial langsung dan kehilangan peluang usaha.

Bagi negara, kondisi ini berujung pada menurunnya efektivitas anggaran publik.

Dana yang seharusnya difokuskan untuk pemenuhan gizi justru tersendat di jalur birokrasi dan manajemen keuangan yang lemah.

Standar gizi pun ikut dikorbankan.

Lebih buruk lagi, persoalan ketenagakerjaan muncul ke permukaan.

Di Kediri, pekerja SPPG dilaporkan bekerja hingga 20 jam sehari tanpa kontrak tertulis, dengan gaji yang terlambat dibayarkan berbulan-bulan.

Alih-alih menciptakan lapangan kerja layak, MBG justru memproduksi praktik eksploitasi kerja.

Ahli Gizi Kelelahan, Standar Diturunkan

CELIOS juga menyoroti beban kerja ahli gizi yang jauh dari manusiawi.

Di lapangan, satu ahli gizi dituntut mengawasi 3.000–4.000 porsi per hari, sambil membina puluhan relawan dapur.

Akibatnya, empat dari lima ahli gizi bekerja melebihi jam kerja normal, dengan lebih dari seperempat bekerja di atas 14 jam per hari.

Situasi ini diperparah oleh kebijakan rekrutmen yang longgar.

Sekitar 6,7 persen tenaga yang mengisi posisi ahli gizi bukan lulusan gizi, bertentangan dengan UU Tenaga Kesehatan.

Ketentuan juknis BGN yang ambigu justru memperbesar risiko kesalahan dan menurunkan mutu pengawasan pangan.

Program Sentralistik, Abaikan Kebutuhan Lokal

Wawancara CELIOS dengan warga di luar Jawa mengungkap penolakan sosial yang luas.

Di Papua dan NTT, masyarakat mempertanyakan relevansi MBG dibanding kebutuhan mendesak seperti infrastruktur sekolah, asrama, dan akses pendidikan.

Distribusi makanan dari pusat dinilai tidak cocok dengan kondisi geografis dan budaya pangan lokal.

Anak-anak yang terbiasa pangan segar lokal kini dipaksa mengonsumsi ayam beku dan beras non-organik dari luar daerah.

Dari “dapur ibu” yang berbasis kearifan lokal, MBG menggeser semuanya ke “dapur negara” yang seragam.

Militerisasi MBG dan Akuntabilitas yang Kabur

Sorotan paling tajam diarahkan pada dominasi TNI–Polri dalam MBG.

Keterlibatan mereka meluas dari struktur BGN hingga pengelolaan SPPG dan kepemilikan yayasan. Bahkan, 15 yayasan tertentu, sebagian terafiliasi militer dan kepolisian, dikecualikan dari pendalaman transaksi keuangan oleh bank, menimbulkan pertanyaan serius soal kesetaraan pengawasan.

CELIOS menilai kondisi ini mencerminkan pergeseran kebijakan sipil menuju birokrasi hibrida militer, yang berisiko merusak profesionalisme, meritokrasi, dan akuntabilitas publik.

Perlunya Moratorium dan Audit Total

Melihat rangkaian persoalan ini, CELIOS mendesak pemerintah melakukan moratorium MBG dan membentuk Satgas Independen Evaluasi, yang melibatkan penegak hukum, akademisi, ahli gizi, tenaga kesehatan, LSM antikorupsi, serta perwakilan orang tua murid.

Tanpa langkah berani, MBG berisiko berubah dari program kesejahteraan menjadi sumber krisis kesehatan, ketimpangan ekonomi, dan erosi kepercayaan publik.

“Katanya MBG menciptakan lapangan kerja. Tapi yang bekerja justru polisi, TNI, politisi, dan anak pejabat. Rakyatnya?” tulis CELIOS. (lis)

Exit mobile version