Tak Ada Asap, Tak Ada Limbah: Begini Cara Insinerator Wisanggeni Olah 10 Ton Sampah Tiap 8 Jam

Foto Ilustrasi Insinerator Wisanggeni. (Foto: HO)

BERI.ID – Salah satu langkah strategis yang digarap serius Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda dalam menangani persoalan sampah yang kian menumpuk setiap harinya adalah penggunaan insinerator Wisanggeni generasi ke-7.

Insinerator sendiri adalah perangkat pembakaran tertutup yang digunakan untuk menghancurkan limbah, termasuk limbah berbahaya dari sektor medis dan industri, melalui proses pembakaran bersuhu tinggi (antara 850 °C hingga 1.400 °C).

Alasan mengapa harus teknologi wisanggeni yang dipilih di Kota Samarinda dikatakan Anggota Bidang Infrastruktur, Lingkungan Hidup, dan Ketahanan Iklim TWAP Samarinda, Sukisman, sebab teknologi tersebut yang paling cocok untuk diterapkan, khususnya di Kota Tepian.

“Dia punya sistem sirkulasi yang menahan asap agar tidak lepas ke udara,” terang Sukisman, ketika ditemui media ini di Kantor TWAP Kota Samarinda, Selasa (7/10/2025).

Alur Pengambilan Sampah Menuju Insinerator

Sebelum mencapai insinerator Wisanggeni, terdapat dua metode pengambilan sampah dari rumah warga, mandiri dan petugas pengangkut.

Warga yang tinggal dekat dengan lokasi insinerator diperbolehkan langsung mengantar sampah terpilah ke insinerator tanpa harus melewati Tempat Penampungan Sementara (TPS).

Sementara bagi wilayah yang jauh, pengangkutan dilakukan oleh petugas kebersihan lokal yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan RT atau warga setempat.

Besaran upah bagi petugas tersebut juga ditentukan secara mandiri oleh masyarakat melalui musyawarah.

Dari TPS, nantinya akan ada petugas dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang ditugaskan untuk memilah sekaligus mengangkut sampah menuju insinerator.

“Semua wajib dipilah sejak dari sumbernya, baik yang dibawa mandiri maupun melalui petugas,” bebernya.

Pemilahan sampah itu terbagi menjadi tiga jenis, organik (mudah terurai), anorganik (sulit terurai), dan sampah B3 (Bahan berbahaya). Setiap TPS dan insinerator akan dilengkapi bilik dan kontainer berwarna berbeda sesuai jenis sampah.

Namun, bagaimana sebenarnya proses pembakaran sampah menggunakan teknologi wisanggeni dan untuk apa hasilnya?

Ia menjelaskan, sebelum proses pembakaran dimulai, kondisi mesin harus dipastikan, panel kontrol, dan level air dalam bak instalasi pengolahan air limbah (IPAL) juga harus dalam keadaan optimal.

Abu dari pembakaran sebelumnya harus dibersihkan, limbah B3 (seperti baterai, cat, atau bahan kimia) dari sampah domestik harus dipisahkan, agar tidak mencemari hasil pembakaran.

Sampah organik dan anorganik kering dimasukkan secara bergantian ke dalam tungku untuk menjaga kestabilan suhu.

Proses pemilahan ini penting agar hasil akhir pembakaran berupa abu halus yang aman dan tidak beracun.

Abu tersebut nantinya akan diolah kembali menjadi bahan campuran paving block, sehingga benar-benar memberikan nilai guna dan mendukung konsep sirkular ekonomi, di bidang pengelolaan sampah.

Proses selanjutnya dimulai dengan pembentukan api dalam tungku menggunakan gas elpiji 3 kg, yang berfungsi sebagai pemantik awal.

Begitu api terbentuk dan temperatur tungku mencapai 200°C, suplai gas dimatikan.

Selanjutnya, api dijaga tetap stabil dengan metode sampah membakar sampah, di mana sampah kering dan basah dimasukkan bergantian, agar nyala api sempurna dan suhu tetap di atas 800°C.

“Kuncinya ada di oksigen. Di generasi ke-7 ini, kami menambahkan ruang-ruang oksigen di dalam rongga insinerator agar pembakarannya sempurna. Tanpa oksigen cukup, sampah tidak bisa terbakar habis,” jelasnya.

Anggota Bidang Infrastruktur, Lingkungan Hidup, dan Ketahanan Iklim TWAP Samarinda, Sukisman. (Foto: Lisa/beri.id)

Keunggulan Wisanggeni terletak pada sistem penanganan emisi dan air limbahnya.

Selama proses pembakaran, asap tidak langsung dilepas ke udara, melainkan dialirkan ke bak IPAL yang terdiri atas empat bilik filterisasi.

Setiap bilik memiliki media penyaring berbeda yang berfungsi menangkap partikel dan gas berbahaya.

Air hasil saringan kemudian disirkulasikan ulang ke bilik lain secara berkelanjutan, tanpa ada air limbah yang dibuang ke tanah atau saluran got.

Setelah proses pembakaran selesai, api akan padam secara otomatis, dan operator baru dapat meninggalkan area kerja setelah suhu tungku turun di bawah 150°C.

Sebelum itu, seluruh aliran listrik pada panel kontrol harus dimatikan untuk memastikan sistem benar-benar aman dan tidak ada sisa emisi yang keluar.

Sistemnya yang tertutup, membuat tidak ada emisi berbahaya yang mencemari udara dan tidak ada air limbah yang keluar dari area pengolahan.

“Selama pembakaran berlangsung, asap akan diproses di empat bak penyaring. Airnya akan terus berputar antar bak, jadi sama sekali tidak ada yang keluar ke lingkungan,” tutur Sukisman.

Wisanggeni generasi ke-7 memiliki daya tampung 10 ton sampah per 8 jam operasi.

Melalui Wisanggeni, Pemkot Samarinda ingin membuktikan bahwa pengelolaan sampah bisa bersih dan produktif.

“Tidak ada asap, tidak ada air limbah, dan hasilnya pun bisa dimanfaatkan kembali,” tutup Sukisman. (lis)

Exit mobile version