SAMARINDA – Gelombang penolakan produk hukum omnibus law cipta kerja yang di sahkan oleh DPR RI pada tanggal 05 Oktober dan di tandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 02 November 2020, khususnya di kota Samarinda sejak awal mendapatkan penolakan.
Terhitung sebanyak 9 kali aksi digelar dan selalu mendapat tindakan represif dari aparat kepolisian.
Gerakan penolakan terhadap UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ini, khususnya di Samarinda terhimpun dalam Aliansi Mahakam Menggugat, dan GMNI termasuk didalamnya.
Aksi yang terakhir dilaksanakan pada tanggal 05 November 2020. Aliansi Mahakam Menggugat kembali menyampaikan pendapat di muka umum terkait penolakan uu cipta kerja. Dalam aksi kali ini, massa aksi kembali mendapat tindakan represif dari pihak keamanan. Bukti aksi represif tersebut bisa dilihat dari foto-foto maupun video penganiayaan terhadap massa aksi yang sudah beredar.
Berdasarkan kronologis rangkain kegiatan yang di tulis oleh kawan-kawan yang bertugas dilapangan, massa aksi tiba di depan Kantor DPRD Kaltim sekitar pukul 16:00 WITA.
Massa menuntut agar dapat masuk ke dalam gedung DPRD KALTIM dan menggelar sidang Rakyat terkait Penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja ini.
Namun, tuntutan ini tidak terpenuhi lantaran pihak keamanan dalam hal kepolisian Polresta Samarinda memukul mundur massa aksi dengan water Cannon dan tembakan Gas air mata.
Tindakan aparat keamanan ini menyebabkan massa aksi sebagian mendapat luka-luka dan tujuh orang tertangkap oleh pihak kepolisian Polresta Samarinda.
Dengan kejadian penangkapan terhadap tujuh mahasiswa peserta aksi dan dibawa ke polresta Samarinda, maka massa aksi langsung mengambil haluan ke Polresta Samarinda untuk aksi pembakaran lilin sebagai bentuk Solidaritas terhapa kawan seperjuangannya.
Pada pukul 20:00 WITA pihak kepolisan beraksi lagi dengan tindak lebih tidak berprikemanusiaan dengan menendang serta membentak massa aksi, hal itu dilakukan untuk membubarkan massa.
Berdasarkan kronologis yang ditulis, maka DPD GMNI KALTIM sebagai bagian dari Aliansi Mahakam Menggugat, melalui Kabid Advokasi dan Pengorganisiran Bung Antonis PN menyampaikan sikap bahwa DPD GMNI KALTIM secara tegas mengencam tindakan aparat kepolisian Polresta Samarinda terhadap massa aksi Aliansi Mahakam Menggugat.
DPD GMNI Kaltim juga meminta pembebasan tanpa syarat untuk 2 mahasiswa yang masih ditahan.
Di sisi lain GMNI Kaltim berpendapat bahwa tindakan pihak aparat kepolisian yang melakukan penganiayaan terhadap massa aksi bisa dilaporkan kembali, karena tindakan tersebut diluar kaidah aturan hukum yang mengatur di negara ini.
Secara hukum berkaitan dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum secara eksplisit di atur serta dilindungi oleh Konstitusi UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan secarah khususnya di atur di UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Hal ini seharusnya di junjung tinggi baik peserta aksi maupun aparat kepolisian yang bertugas, namun pada faktanya perilaku menyimpang dari norma hukum yang termuat dalam aturan hukum yag berlaku dan ini menunjukkan bahwa pihak yang bertindak brutal atau sewenang-wenang ini tidak sama sekali menghormati aturan hukum yang berlaku.
Di sisi lain DPD GMNI KALTIM juga menyoroti institusi polri dalam hal Polresta Samarinda harus bekerja berdasarkan norma hukum yang mengatur tentang instusi dan personil dalam bekerja berdasarkan norma hukum yang berlaku.
Berdasarkan Perkapolri No. 9 Tahun 2008 sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dan pedoman dalam rangka pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan penanganan perkara dalam penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan penyampaian pendapat dapat berjalan dengan baik dan tertib ditegaskan dalam pasal 13 polisi berkewajiban untuk melindungi HAM, menghargai Asas legalitas, menghargai Asas praduga tak bersalah dan menyelanggarakn pengamanan. Perlu di pahami bahwa polisi tidak di berikan kewenangan untuk memukul apalagi sampai menggunting rambut peserta aksi, karena tindakan tersebut merupakan tindakan brutal.
Mengacu pada Protap Pada Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas), dalam aturan ini tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif.
Justru menegaskan bahwa dalam kondisi apapun anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa aksi , dan secarah jelas protap ini juga melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.
Di samping larangan, Protap juga memuat kewajiban yang ditempatkan paling atas adalah kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa, tidak hanya itu satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan, pada prinsipnya aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran.
Gambaran umum serta kronologis dan dasar hukum yang di gunakan dalam memahami kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, maka DPD GMNI KALTIM berkesimpulan bahwa tindakan yang di lakukan oleh aparat kepolisian Polresta Samarinda terhadap masa aksi pada tanggal 05 November 2020 telah menyalahi aturan dan menunjukkan perilaku aparat yang tidak menghormati norma hukum yang berlaku di negara Indonesia.
Note : Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis tertera dan tidak berkaitan dengan Redaksi