BERI.ID – Menyusuri Samarinda tidak melulu harus lewat jalan raya dan hiruk pikuk lalu lintas. Dari Sungai Mahakam, kota ini justru menampilkan wajah yang lebih utuh.
Alirannya tenang, tetapi sarat makna, seolah mengajak siapa pun yang melintas untuk membaca ulang sejarah Samarinda dari titik awal kelahirannya.
Kapal wisata bergerak perlahan mengikuti arus Mahakam. Dari atas geladak, jajaran jembatan ikonik tampak berurutan, membingkai perjalanan kota dari masa ke masa.
Jembatan Mahkota II berdiri modern, Jembatan Mahakam menjadi penghubung utama aktivitas warga sejak puluhan tahun lalu, sementara Jembatan Mahulu merekam dinamika kehidupan di dua sisi sungai.
Semua menjadi penanda bahwa Samarinda tumbuh seiring denyut Mahakam.
Di sepanjang bantaran, kisah kota semakin terasa hidup. Permukiman warna-warni memperlihatkan adaptasi warga yang sejak lama akrab dengan sungai.
Kampung Tenun menghadirkan jejak ekonomi tradisional yang masih bertahan, sementara Masjid Shiratal Mustaqiem, masjid tertua di Samarinda, berdiri teduh sebagai saksi sejarah panjang masyarakat di tepian Mahakam.
Di balik lanskap itu, Sungai Mahakam juga menyimpan cerita tentang asal-usul nama Samarinda. Sejumlah sejarawan lokal meyakini, kata Samarinda berakar dari istilah “Sama Rendah”.
Istilah ini merujuk pada kesepakatan masyarakat awal yang mendiami kawasan tepian sungai untuk hidup setara, tanpa perbedaan strata antara pendatang dan warga lokal.
Di tengah beragam latar belakang suku dan profesi, mereka menegaskan prinsip hidup berdampingan dengan kedudukan yang sama.
Sungai menjadi ruang pertemuan, bukan pembatas. Dari sanalah identitas Samarinda terbentuk sebagai kota yang tumbuh dari keterbukaan dan kesetaraan.
Kini, nilai itu coba dihidupkan kembali melalui wisata susur Sungai Mahakam. Tiga armada wisata, Pesut Mahakam, Pesut Kita, dan Pesut Etam, mengajak warga dan wisatawan menelusuri rute yang berbeda, menyaksikan langsung bagaimana kota berkembang dari tepian air.
Setiap kapal menawarkan sudut pandang tersendiri tentang Samarinda, bukan hanya sebagai pusat aktivitas modern, tetapi juga sebagai ruang sejarah.
Bagi warga, pengalaman ini memberi perspektif baru. Fitri, salah seorang warga Samarinda, mengaku wisata sungai membuatnya lebih memahami kotanya sendiri.
“Dari sungai, rasanya lebih dekat dengan sejarahnya. Kita jadi paham kenapa Mahakam begitu penting, bahkan sampai ke asal-usul nama Samarinda,” ujarnya, Senin (22/12/2025).
Lanjutnya, wisata susur sungai layak dikembangkan sebagai sarana edukasi sejarah sekaligus rekreasi keluarga.
Perjalanan yang tenang memberi ruang bagi siapa pun untuk menikmati kota tanpa tergesa, sambil mengenal cerita-cerita yang membentuk identitas Samarinda.
Di atas aliran Mahakam, Samarinda tidak hanya dipandang sebagai kota masa kini, tetapi juga sebagai warisan nilai.
Dari prinsip “Sama Rendah” hingga denyut kehidupan di bantaran sungai, wisata susur Mahakam mengajak siapa pun untuk memahami bahwa Samarinda lahir dari semangat kebersamaan, yang hingga kini masih mengalir bersama sungainya. (lis)
