BERI.ID – Program Sekolah Rakyat (SR) hingga saat ini masih dibayangi kesalahpahaman di tengah masyarakat, seringkali bukan hanya soal akses pendidikan, tetapi juga stigma bahwa anak jalanan “ditarik paksa” masuk asrama dan sekolah berasrama milik pemerintah.
Narasi tersebut keliru dan tidak mencerminkan mekanisme yang dijalankan di lapangan.
Sekolah Rakyat ditegaskan Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial dan Fakir Miskin Dinas Sosial (Dinsos) Samarinda Agus, bukan instrumen penertiban, melainkan program pemberdayaan yang sangat bergantung pada persetujuan anak dan keluarga.
“Tidak ada konsep semua anak jalanan otomatis masuk Sekolah Rakyat. Itu bukan razia, bukan penangkapan. Prinsip dasarnya jelas: anak mau, orang tua berkenan,” tegas Agus, Rabu (24/12/2025).
Tidak Semua Anak Jalanan Masuk Sekolah Rakyat
Agus menjelaskan, Dinsos bekerja berdasarkan pendekatan kasus per kasus, bukan kebijakan menyapu rata.
Saat tim melakukan rehabilitasi sosial dan menemukan anak jalanan, langkah pertama yang ditempuh adalah menelusuri kondisi keluarga.
Jika orang tua masih ada, maka pendekatan awal dilakukan melalui edukasi keluarga dan bimbingan sosial, bukan langsung menawarkan Sekolah Rakyat.
Proses rehabilitasi ini berada di bawah Bidang Rehabilitasi Sosial (Resos), dengan fokus memperbaiki fungsi keluarga terlebih dahulu.
“Sekolah Rakyat itu opsional. Bahkan keluarga di desil 1 atau desil 2 pun belum tentu mau. Banyak juga yang menolak,” ujarnya.
Data Dinsos menunjukkan mayoritas calon siswa SR berasal dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, terutama kelompok desil 1 dan desil 2.
Namun, kemiskinan tidak otomatis menjadi tiket masuk. Program ini hanya dijalankan ketika anak dan orang tua menyatakan kesiapan.
Kurikulum Fleksibel, Tapi Tantangan Sosial Nyata
Sekolah Rakyat berada di bawah kewenangan pemerintah pusat dan bersifat instansi vertikal, sehingga Dinsos daerah tidak mengatur kurikulum.
Meski demikian, Agus memastikan kurikulum SR dirancang fleksibel dan adaptif.
“Anak putus sekolah di kelas berapa pun bisa masuk dan dilanjutkan. Kurikulumnya menyesuaikan kondisi anak, bukan sebaliknya,” jelasnya.
Namun di balik fleksibilitas itu, tantangan sosial kerap menjadi penghambat terbesar.
Agus mengungkapkan, tidak sedikit siswa yang akhirnya mengundurkan diri, bahkan setelah sempat tinggal di asrama.
“Ini realitas sosial. Anak hari ini bilang mau, besok bisa bilang tidak. Ada yang sudah nangis minta masuk sekolah, tapi saat hari H malah batal,” ungkapnya.
Faktor penolakan tidak selalu datang dari anak.
Dalam beberapa kasus, keluarga justru menjadi penentu utama mundurnya siswa.
“Ada orang tua yang merasa kehilangan tenaga di rumah. Selama ini kakaknya menjaga adik. Begitu kakaknya masuk Sekolah Rakyat, yang jaga adik tidak ada,” beber Agus.
Tiga Tahap Pendekatan, Tapi Tak Bisa Memaksa
Dinsos Samarinda, kata Agus, tidak serta-merta melepas ketika siswa memilih mundur.
Ada hingga tiga kali pendekatan, yang dilakukan secara berlapis.
Pendekatan pertama dilakukan oleh wali asuh, guru, dan pengelola asrama. Jika belum berhasil, relawan sosial dan SDM Kesejahteraan Sosial (SDM Kesos) turun langsung ke rumah keluarga.
Tahap terakhir melibatkan Dinsos secara langsung.
“Kami datangi rumahnya, kami bicara baik-baik. Tapi kalau akhirnya tetap menolak, kami tidak bisa memaksa. Ini bukan program paksaan,” tegasnya.
Ia menilai dinamika tersebut justru memperlihatkan bahwa Sekolah Rakyat dijalankan dengan pendekatan humanis, meski di sisi lain membuat angka keberlanjutan siswa menjadi fluktuatif.
Mayoritas Keluarga Penerima Bansos
Dari sisi jaring pengaman sosial, Agus mengungkapkan bahwa hampir seluruh keluarga siswa Sekolah Rakyat tercatat sebagai penerima bantuan sosial dari Kementerian Sosial, baik dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) maupun kepesertaan BPJS PBI.
“Tidak semuanya, tapi hampir semua sudah terdata sebagai penerima bansos,” katanya.
Namun ia mengakui, data terbaru terkait jumlah siswa yang benar-benar mengundurkan diri belum ia pegang secara rinci.
Untuk angka final, Agus menyarankan konfirmasi langsung ke pengelola Sekolah Rakyat atau Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP).
Program ini di satu sisi, membuka akses pendidikan bagi kelompok paling rentan.
Di sisi lain, kemiskinan struktural membuat sebagian keluarga belum siap melepaskan anak dari fungsi ekonomi dan sosial di rumah.
“Sekolah Rakyat itu bukan solusi instan. Ini proses panjang untuk mengangkat derajat keluarga miskin. Tapi tanpa kemauan anak dan keluarga, negara tidak boleh memaksa,” pungkas Agus. (lis)
