BERI.ID – Pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal yang mengatakan bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tak butuh ahli gizi viral di media sosial, walaupun belakangan Cucun mengklarifikasi bahwasanya yang dimaksudkan ialah dari fungsi pengawasan, bukan terhadap profesi ahli gizi.
Menanggapi itu, Ketua Yayasan dan pengelola layanan MBG ini justru mengakui bahwa keberadaan ahli gizi masih krusial dan belum sepenuhnya terpenuhi.
Ketua Yayasan Fimizoe Mohammad Zulkifli, Fitriyana, mengatakan saat ini lembaganya baru menangani sekitar lima sekolah dengan target 3.000 penerima manfaat, dalam waktu dekat.
Ia menegaskan bahwa kebutuhan ahli gizi bukan sekadar formalitas, melainkan elemen kunci dalam menjaga kualitas dan standar menu MBG.
“Kalau kita bertanya apakah ahli gizi perlu, jawabannya bukan hanya perlu, tapi wajib. Mereka yang menentukan menu sesuai standar BGN, memeriksa bahan pangan, dan memastikan prosesnya terkontrol dari hulu ke hilir,” ujarnya, Selasa (18/11/2025).
Fitriyana menekankan bahwa program makan bergizi tidak bisa dipisahkan dari supervisi ahli gizi.
Mulai dari merancang kebutuhan nutrisi, mengevaluasi menu, hingga memastikan bahan baku layak konsumsi, semuanya berada di bawah tanggung jawab profesi tersebut.
“Yang bikin program ini berjalan lancar itu ya kombinasi komunikasi yang baik dengan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia atau SPPI dan adanya ahli gizi. Tanpa itu, sering muncul masalah,” tambahnya.
Meski begitu, Fitriyana mengungkapkan bahwa pihaknya juga mempekerjakan chef profesional, untuk menciptakan menu yang lebih variatif, mengingat sebagian sekolah yang mereka tangani berada di kawasan perkotaan dengan ekspektasi siswa yang lebih tinggi terhadap cita rasa makanan.
“Kita berharap anak-anak benar-benar mau makan. Jadi menu jangan monoton,” ujarnya.
Sementara itu, Pengelola SPPG Kelurahan Bugis, Faisyal, mengakui pengalaman yang sama.
Ia menegaskan bahwa program MBG tidak mungkin mencapai standar yang dijanjikan pemerintah jika pengelola tidak memiliki pendamping gizi.
“Ini kan program makan bergizi. Tanpa ahli gizi, bagaimana memastikan bahwa yang disajikan benar-benar sesuai kebutuhan. Namanya saja MBG,” tegasnya.
Untuk sementara, timnya mengandalkan pengawasan manual terhadap menu dan bahan baku. Faisyal sendiri turun langsung memantau distribusi bahan pangan dari yayasan maupun pemasok.
Mereka mengutamakan bahan makanan yang aman, layak konsumsi, dan tersedia dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan lima sekolah, mulai tingkat TK hingga SMA.
“Kami kolaborasi dengan petani, peternak lokal, sampai suplier di Samarinda. Kota ini punya keterbatasan bahan, jadi kami tidak bisa hanya bergantung pada satu sumber,” jelasnya.
Namun pihaknya mengakui bahwa penilaian kualitas bahan pangan saat ini masih bersifat visual, belum mengacu pada standar analisis gizi yang semestinya dilakukan oleh tenaga ahli.
Kondisi ini dianggap rawan terutama bagi kelompok penerima manfaat paling rentan.
“Anak TK itu beda. Metabolisme mereka lebih sensitif. Justru di tingkat itu pendamping gizi harus lebih aktif. Percuma makanan bergizi kalau anak-anak tidak mau makan,” kata Faisyal.
Keduanya sepakat bahwa evaluasi besar-besaran harus dilakukan. Program MBG, menurut mereka, adalah program strategis yang harus bergerak sejalan dengan visi Presiden Prabowo tentang pemenuhan gizi nasional.
“Targetnya program ini benar-benar sesuai dengan arahan Presiden,” pungkas Faisyal. (lis)
