BERI.ID – Sejumlah ritel modern yang sebelumnya beroperasi 24 jam di Samarinda kini tampak gelap menjelang tengah malam, terbukti dari tim redaksi yang turun langsung ke salah satu ritel modern di Jalan Ahmad Yani.
Ketika dikonfirmasi, penjaga kasir yang sebelumnya tengah membereskan bongkaran barang memastikan bahwa kebijakan itu benar-benar sudah diberlakukan.
Tanpa banyak kata, ia mengisyaratkan bahwa aturan baru tersebut bersifat tegas.
“Tidak 24 jam lagi, sudah dilarang,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Kebijakan ini memantik reaksi beragam dari masyarakat.
Di satu sisi, ada warga yang menilai langkah pemerintah sebagai upaya melindungi ekonomi lokal.
Namun, tak sedikit pula yang melihatnya sebagai bentuk kemunduran dalam tata kelola kota yang seharusnya bergerak mengikuti kebutuhan masyarakat.
Dayani, warga Kelurahan Temindung Permai, termasuk mereka yang menolak pembatasan jam operasional.
Ia menilai, kehidupan masyarakat perkotaan kini bergerak dengan pola yang jauh lebih fleksibel dibandingkan pengaturan tradisional yang dipaksakan pemerintah.
Kebijakan ini menurutnya lahir dari cara pandang lama, di mana aktivitas ekonomi dianggap layak hanya dalam rentang waktu tertentu, padahal realitas masyarakat sudah berubah drastis.
“Bagi saya, pelarangan supermarket buka 24 jam ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap pola hidup urban yang serba fleksibel,” tegas Dayani.
Ia juga berpendapat bahwa pembatasan ini justru mengurangi pilihan warga dan membatasi daya saing pelaku usaha yang ingin beradaptasi dengan zaman.
Tidak semua warung tradisional buka hingga larut malam, apalagi selama 24 jam, sehingga pelarangan ini menurutnya tidak secara otomatis menghidupkan warung kecil.
Dayani juga menggarisbawahi aspek aksesibilitas.
Ritel modern yang terhubung dengan peta digital memungkinkan masyarakat, terutama pengguna jalan poros yang melakukan perjalanan jauh, untuk mendapatkan kebutuhan mendadak pada malam hari.
“Di jalur poros itu banyak orang bepergian malam. Dengan adanya retail modern yang 24 jam, masyarakat bisa langsung beli kebutuhan mendadak. Lokasinya jelas di maps, jadi tidak perlu muter-muter cari warung yang entah buka atau tidak,” jelasnya.
Dayani menyatakan, jika pemerintah benar-benar ingin melindungi pelaku usaha kecil, solusinya bukan menutup pesaing besar, tetapi meningkatkan kapasitas dan kualitas warung lokal.
“Harusnya warung lebih dibina. Misalnya bagaimana menata warung agar lebih nyaman, menggunakan layanan online, atau mendaftarkan lokasi warung ke maps supaya mudah ditemukan,” tambahnya.
Di sisi lain, Andriansyah, warga Kelurahan Sungai Pinang, justru mendukung penuh kebijakan pembatasan jam operasional tersebut.
Ia berpendapat keberadaan ritel modern 24 jam selama ini membuat warung kecil kesulitan bertahan.
Pembatasan tersebut memberi ruang bagi warung lokal untuk kembali hidup, terutama pada jam-jam yang lebih sepi persaingan.
“Saya setuju dengan larangan ritel modern buka 24 jam. Biar warung-warung di sekitar bisa bergerak lagi,” pungkasnya. (lis)
