PMII dan Tanggung Jawab Sejarah Alumni dalam Masyarakat Majemuk

Ketua PW IKA-PMII Kaltim, Syafruddin. (Foto: Lisa/beri.id)

BERI.ID – Pelantikan Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII) Kalimantan Timur periode 2025–2030, menjadi ruang terbuka untuk menguji relevansi alumni PMII sebagai kekuatan perubahan, atau justru terjebak dalam nostalgia pergerakan tanpa dampak sosial nyata.

Ketua PW IKA-PMII Kaltim, Syafruddin, secara terbuka menolak memaknai IKA-PMII hanya sebagai ruang temu emosional para alumni.

Ia menegaskan bahwa organisasi alumni harus berani mengambil posisi sebagai pusat produksi gagasan dan konsolidasi kekuatan intelektual, bukan berhenti pada rutinitas seremonial dan romantisme masa lalu.

Tantangan terbesar alumni PMII hari ini, menurutnya bukan kekurangan akses kekuasaan, melainkan keberanian menggunakan posisi strategis untuk kepentingan publik.

Ia menyebut banyak kader PMII telah menempati ruang-ruang penting, di parlemen, birokrasi, maupun sektor profesional, namun kontribusinya belum sepenuhnya terartikulasikan sebagai gerakan perubahan yang terorganisir.

“IKA-PMII tidak boleh menjadi elite alumni. Ia harus menjadi lokomotif gagasan, tempat lahirnya ide-ide segar yang benar-benar menjawab problem sosial,” tegas Syafruddin, dalam Pelantikan Pengurus dan Seminar Nasional, di Hotel Puri Senyiur Samarinda, Sabtu (20/12/2025).

Ia juga menyoroti kecenderungan sebagian alumni yang, setelah berada di posisi nyaman, justru menjauh dari nilai dasar PMII.

Padahal secara historis, PMII lahir dari kesadaran sosial terhadap kelompok marjinal dan ketimpangan struktural.

Karena itu, menurutnya, kader dan alumni yang hari ini berada di puncak justru memikul tanggung jawab moral lebih besar untuk menjadi pelopor perubahan, bukan sekadar penyesuai keadaan.

Syafruddin menekankan bahwa PMII tidak pernah mendidik kader untuk menjadi pengekor arus.

Sebaliknya, sejak awal PMII dirancang sebagai ruang kaderisasi pemimpin, baik bagi NU, negara, maupun masyarakat luas.

Jika alumni kehilangan daya kritis dan keberpihakan sosial, maka yang runtuh bukan hanya organisasi, tetapi juga warisan ideologisnya.

Ia bahkan secara terbuka mengkritik mentalitas elitis di kalangan alumni.

Menurutnya, siapa pun kader yang merasa “sudah selesai” setelah meraih jabatan, patut dipertanyakan komitmennya terhadap sumpah pergerakan.

“Kalau ada kader merasa dirinya elit dan lupa pada tanggung jawab sosial, itu alarm bahaya. Kita disumpah bukan untuk berjarak dari rakyat,” ujarnya.

Dalam konteks hubungan dengan NU, Syafruddin menegaskan bahwa PMII dan IKA-PMII tidak boleh sekadar menjadi penonton dinamika internal jam’iyah.

Ia menyebut PMII memiliki mandat sejarah untuk menjadi kekuatan penyangga Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang inklusif, moderat, dan mampu meredam fragmentasi di tengah masyarakat majemuk.

Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Ketua PWNU Kaltim, M. Fauzi Achmad Bahtar, yang mendorong agar alumni PMII tidak memposisikan diri di luar NU, tetapi menjadi bagian aktif dalam penguatan tiga pilar NU, gerakan, pemikiran, dan amalan.

Ia menilai jumlah kader PMII di Kaltim sudah cukup besar untuk menjadi kekuatan sosial-politik yang signifikan, jika dikelola dengan visi yang jelas.

“Saya berharap dapat terus berperan aktif dalam membangun kemandirian dan berperan aktif, berkiprah di Kaltim,” bebernya.

Dari level nasional, Wakil Ketua Pengurus Besar (PB) IKA-PMII Hery Haryanto Azumi menegaskan bahwa PMII dan IKA-PMII sejak awal tidak dirancang sebagai organisasi lokal atau sektoral, melainkan sebagai proyek kaderisasi jangka panjang bagi kepemimpinan bangsa.

Peran IKA-PMII ditegaskannya bukan hanya menjembatani hubungan dengan NU, tetapi juga terlibat aktif dalam menjawab persoalan nasional.

Ia menyebut keterlibatan alumni PMII dalam ruang-ruang strategis negara bukan kebetulan, melainkan hasil desain kaderisasi yang panjang.

Hery bahkan menyinggung bahwa kemungkinan alumni PMII menjadi presiden di masa depan bukan sesuatu yang mustahil.

Namun ia menekankan, peluang itu hanya bermakna jika alumni tetap menjaga integritas, daya kritis, dan keberpihakan sosial, bukan sekadar memanfaatkan jaringan organisasi untuk kepentingan sempit.

“PMII tidak disiapkan untuk mengisi kekosongan jabatan. Kita disiapkan untuk ikut menentukan arah peradaban,” tutupnya. (lis)

Exit mobile version