BERI.ID – Realisasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kalimantan Timur (Kaltim) menunjukkan progres signifikan menjelang akhir 2025.
Hingga November, penyerapan anggaran telah mencapai Rp42,68 miliar dari total Rp50,83 miliar yang dialokasikan pemerintah pusat.
Namun, di lapangan hanya 72 dari 115 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang benar-benar berjalan.
Ketimpangan antara serapan anggaran dan kesiapan SPPG inilah yang menjadi sorotan utama.
Sebab, keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari penyerapan dana, melainkan dari kemampuan menyalurkan makanan bergizi secara konsisten kepada seluruh pelajar sasaran.
Pendamping Kepala Regional BGN Kaltim, Sirajul Amin, mengakui bahwa progres anggaran memang lebih cepat dibandingkan perluasan layanan.
“Penyerapan sudah lebih dari Rp42 miliar, dan akan terus bergerak seiring percepatan layanan,” ujarnya, Kamis (20/11/2025).
Dari sembilan kabupaten/kota yang menjadi lokasi MBG, Mahakam Ulu tetap menjadi titik paling lambatz
Bukan hanya terlambat, tetapi sampai November ini belum satu pun SPPG di daerah itu beroperasi.
Situasi ini terjadi sebab wilayah dengan tantangan geografis ekstrem menjadi yang paling tertinggal dalam akses program nasional.
“Mahakam Ulu menjadi target khusus kami ke depan,” kata Sirajul.
Kaltim juga dikenal memiliki disparitas harga pangan terbesar di luar Papua.
Itulah sebabnya biaya satu porsi MBG dipatok berbeda, bergantung pada Indeks Kemahalan Daerah (IKD).
– Samarinda, Balikpapan, Kukar, Bontang: Rp15.000
– Kutai Timur, Kutai Barat: ±Rp18.000
Kenaikan harga daging, ayam, dan telur yang tidak seragam memaksa pemerintah menerapkan subsidi silang, untuk menjaga keseimbangan gizi.
“Ada harga komoditas yang naik-turun, jadi kami pakai mekanisme subsidi silang sebagai penyeimbang menu,” terang Sirajul.
Setiap SPPG rata-rata menanggung beban layanan yang sangat besar, dari 3.000 hingga 4.000 siswa.
Angka itu berarti satu SPPG dapat mengalirkan anggaran hingga Rp450 juta hanya dalam satu siklus (dua minggu).
“Kalau satu SPPG melayani 3.000 siswa, anggaran yang diajukan per periode bisa sekitar Rp450 juta,” beber Sirajul.
Tekanan pada SPPG sangat tinggi, karena bukan hanya soal memasak dan mendistribusikan, tetapi memastikan makanan tiba dalam kondisi aman dalam radius maksimal 6 kilometer.
Kegagalan satu mata rantai bisa langsung berdampak pada kualitas gizi pelajar.
Hingga kini, MBG Kaltim berada pada fase “bergerak, tetapi belum merata”. Serapan anggaran tinggi, tetapi realisasi operasional belum mencapai setengah kekuatan penuh.
Mahakam Ulu menjadi gambaran paling telanjang bahwa tantangan struktural masih jauh dari selesai.
Sirajul memastikan anggaran akan terus menyesuaikan kebutuhan lapangan, namun efektivitas MBG akan sangat ditentukan oleh seberapa cepat 43 SPPG sisanya mampu berfungsi optimal.
“Skema anggaran fleksibel menyesuaikan kebutuhan, porsi, dan standar gizi seimbang,” pungkasnya. (lis)
