BERI.ID – Satu tahun setelah diluncurkan sebagai program unggulan nasional, Makan Bergizi Gratis (MBG) justru dinilai oleh pihak CELIOS, menunjukkan paradoks serius.
Alih-alih memperbaiki status gizi anak dan kelompok rentan, program dengan anggaran raksasa ini dinilai CELIOS belum efektif, salah sasaran, dan berpotensi mengorbankan kebijakan kesehatan serta pendidikan yang lebih krusial.
Hal ini tertuang dalam Studi Evaluasi 1 Tahun MBG yang dirilis Center of Economic and Law Studies (Celios).
Studi ini menilai dampak MBG terhadap perbaikan gizi anak sekolah dan kelompok rentan 3B (ibu hamil, ibu menyusui, dan balita non-PAUD), terutama dalam konteks penanggulangan stunting dan beban ganda malnutrisi.
Hasilnya MBG belum mampu menjawab akar persoalan gizi di Indonesia.
Salah Fokus: Stunting Bukan Masalah di Meja Sekolah
Celios menegaskan bahwa stunting adalah masalah gizi kronis yang terjadi sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun periode krusial 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Dalam konteks ini, program makan di sekolah tidak memiliki dampak langsung terhadap pencegahan stunting.
Ironisnya, meski pemerintah mengklaim MBG telah menjangkau 1,3 juta ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, cakupan tersebut dinilai sangat terbatas.
Pada saat yang sama, program justru lebih dominan menyasar siswa sekolah, yang secara keseluruhan baru menjangkau sekitar 3,1 persen dari total 41,6 juta siswa nasional.
“Kondisi ini menunjukkan kelompok paling rentan justru belum menjadi prioritas utama,” tulis Celios.
Padahal, intervensi gizi pada masa HPK memiliki dampak terbesar terhadap kualitas sumber daya manusia jangka panjang
Persepsi Publik: MBG Dinilai Tidak Berdampak
Studi ini juga memotret persepsi masyarakat terhadap efektivitas MBG.
Hasilnya menunjukkan tingkat skeptisisme tinggi, bahkan lebih kuat pada kelompok berpendidikan tinggi.
Responden lulusan S1–S3 mencatat persentase tertinggi yang menilai MBG tidak berdampak terhadap pencegahan stunting (26,27 persen) disusul lulusan SD dan belum tamat (25 persen), serta SMP (21,21 persen).
Celios menilai, kelompok terdidik cenderung lebih kritis terhadap keadilan sasaran program.
MBG dinilai terlalu universal dan kehilangan arah sebagai kebijakan yang seharusnya selektif dan berbasis kebutuhan.
“Program sosial tanpa targeting yang jelas berisiko menjadi pemborosan anggaran dan menciptakan pemerataan semu,” tegas laporan tersebut.
Klaim IMT Dipatahkan: Berat Badan Anak Tak Naik
Pemerintah kerap membangun narasi keberhasilan MBG melalui klaim peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) anak.
Namun, Celios menemukan fakta sebaliknya.
Sebanyak 62 persen ibu menyatakan berat badan anak mereka tidak mengalami peningkatan setelah menerima MBG.
Temuan ini krusial karena perempuan, khususnya ibu, merupakan aktor utama dalam pemantauan gizi anak.
Melalui tiga pendekatan analisis (deskriptif, korelasi, dan kausalitas/Propensity Score Matching), Celios menyimpulkan bahwa anak penerima MBG tidak memiliki probabilitas lebih tinggi untuk mengalami kenaikan berat badan.
Bahkan, dalam beberapa model, MBG justru berasosiasi dengan penurunan persepsi kenaikan berat badan anak
Hasil ini dinilai robust (kuat) secara statistik, tetap konsisten setelah dikontrol variabel sosial ekonomi, geografis, dan metode matching ketat.
Celios mengingatkan, kenaikan berat badan semua akibat makanan ultra-proses (UPF) seperti roti manis dan susu berpemanis bukan indikator perbaikan gizi, melainkan potensi masalah gizi baru.
Dampak Belajar Tak Signifikan, Bahkan Cenderung Negatif
Selain gizi, MBG juga diklaim mendukung performa belajar anak.
Namun temuan Celios kembali menunjukkan kegagalan.
Sebanyak 51,86 persen orang tua menyatakan tidak ada perubahan keaktifan dan fokus anak.
55 persen responden menyebut anak tidak menjadi lebih rajin.
Analisis kausal menunjukkan bahwa keberadaan MBG tidak meningkatkan kesiapan belajar, bahkan pada beberapa model menunjukkan efek negatif signifikan terhadap persepsi fokus dan keaktifan anak.
“Program berskala nasional dengan anggaran besar, tetapi tidak berdampak pada perilaku belajar, harus dievaluasi secara serius,” tegas Celios.
Anggaran Bocor: Rp8,4 Triliun Terbuang, Rp404 Triliun Manfaat Hilang
Salah satu temuan paling tajam dalam studi ini adalah opportunity cost MBG.
Dari total Rp24,7 triliun anggaran MBG yang dialihkan dari sektor kesehatan, sekitar 34,2 persen dinilai salah sasaran, setara Rp8,4 triliun pemborosan.
Jika dana tersebut dialihkan ke program pencegahan stunting, manfaat ekonomi jangka panjangnya diperkirakan mencapai Rp404,6 triliun, merujuk pada estimasi bahwa setiap 1 USD investasi stunting menghasilkan 47,9 USD manfaat ekonomi.
“Penggunaan anggaran berbasis bukti ilmiah jauh lebih menguntungkan dibanding mempertahankan MBG dalam desain saat ini,” tegas Celios.
Beban Keluarga Tak Berkurang, Biaya Tambahan Justru Muncul
MBG juga gagal memenuhi klaim sebagai pengurang beban ekonomi keluarga.
Lebih dari 30 persen keluarga penerima menyatakan tidak merasakan penghematan berarti.
Bahkan, 64,6 persen orang tua mengaku tetap harus membeli makanan tambahan karena anak tidak menyukai menu MBG.
Kondisi ini paling dirasakan oleh pekerja informal dan berpenghasilan rendah, kelompok yang seharusnya paling terbantu.
Kualitas menu yang rendah, porsi kecil, dan dominasi makanan UPF membuat MBG menciptakan biaya tersembunyi, alih-alih meringankan beban.
Salah Sasaran, Minim UMKM, Rawan Konflik Kepentingan
Celios juga menemukan MBG:
– Rentan salah sasaran, karena bersifat universal
– Kurang melibatkan UMKM lokal (hanya 27,6 persen responden menilai dominan lokal)
– Minim transparansi pemasok
– Rawan mark-up harga dan konflik kepentingan dalam penunjukan vendor
Sebanyak 79,2 persen responden menilai konflik kepentingan sangat mungkin terjadi, mencerminkan lemahnya tata kelola dan akuntabilitas program.
Harga Mahal Masa Depan Anak
Pada 2026, MBG direncanakan menyedot Rp1,2 triliun per hari.
Dengan anggaran itu, negara sebenarnya mampu membayar seluruh guru honorer Rp1,7 juta per bulan selama setahun hanya dengan 12 hari anggaran MBG
“Setiap centong nasi adalah keputusan politik kecil di dapur. Ketika negara gagal memperkuat tangan yang memegangnya, maka gizi hanyalah slogan,” dikutip dari laporan CELIOS. (lis)
