Maraknya Pernikahan Dini Samarinda, Puji Ingatkan Predikat Kota Layak Anak Jangan Sekadar Pajangan

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti

SAMARINDA – Predikat Kota Layak Anak (KLA) yang selama ini melekat pada Samarinda dipertanyakan kesesuaiannya dengan kondisi nyata di lapangan.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, mengungkapkan masih banyak persoalan mendasar yang mengancam pemenuhan hak anak, salah satunya adalah maraknya praktik pernikahan dini yang terjadi secara diam-diam.

“Saya menilai implementasi program ramah anak di Samarinda masih cenderung seremonial dan belum menyentuh akar persoalan,” katanya, (23/06/2025).

Ia menyebut lemahnya pelibatan masyarakat sebagai salah satu penyebab mengapa praktik-praktik yang merampas hak anak masih terus terjadi.

“Label Kota Layak Anak jangan hanya jadi pajangan. Tapi harus benar-benar dirasakan oleh anak-anak, apalagi di kampung-kampung,” tegas Puji.

Salah satu masalah krusial yang disorot adalah praktik pernikahan dini yang difasilitasi penghulu liar. Menurutnya, pernikahan ini sering berlangsung di luar pengawasan negara dan telah menyebabkan banyak anak putus sekolah.

“Banyak anak menikah di usia belasan tahun dan akhirnya tidak melanjutkan sekolah. Kalau sudah begitu, bagaimana kita mau bicara tentang wajib belajar 12 tahun?” ujarnya.

Puji juga menyoroti masih adanya pandangan sempit di masyarakat yang menganggap pendidikan cukup hanya dengan bisa membaca dan menulis. Padahal, katanya, pendidikan harus menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih baik.

Selain itu, fasilitas dasar bagi anak di banyak wilayah Samarinda dinilai masih belum merata. Taman bermain, ruang ramah anak, atau akses pelayanan kesehatan dan pendidikan layak masih menjadi kemewahan di sejumlah kelurahan.

“Kita tidak bisa mengklaim layak anak kalau anak-anak masih bekerja, menikah dini, atau tidak punya akses pendidikan,” tambahnya.

Ia juga mendesak penegakan hukum yang lebih tegas terhadap penghulu liar yang memfasilitasi pernikahan dini. Tanpa efek jera, praktik ini menurutnya akan terus berlangsung secara sembunyi-sembunyi.

“Kita perlu tindakan nyata, bukan hanya wacana. Penegak hukum harus turun tangan,” kata Puji.

Dalam hal ini, ia menekankan bahwa membangun kota layak anak bukanlah tanggung jawab satu dinas saja. Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, hingga aparat keamanan harus terlibat aktif dan bersinergi.

Meski demikian, Puji tetap mengapresiasi beberapa langkah yang telah dilakukan Pemkot Samarinda, seperti penyediaan Kartu Identitas Anak (KIA), program internet sehat, dan ruang ramah anak di fasilitas publik. Namun, ia menilai cakupan program tersebut masih belum menyentuh seluruh wilayah kota.

“Kita tidak bisa puas hanya karena ada program. Yang penting adalah semua anak, tanpa kecuali, benar-benar merasakan perlindungan dan perhatian negara,” pungkasnya.

Sebagai penutup, Puji mengingatkan bahwa perlindungan anak bukan hanya soal bangunan atau program, melainkan kesadaran kolektif seluruh masyarakat.

“Jika masa kecil anak direnggut karena pernikahan dini dan putus sekolah, maka kerugian terbesar akan ditanggung oleh masa depan kota itu sendiri,” tutupnya. (Adv/DPRD Samarinda)

Exit mobile version