BERI.ID – Persoalan banjir di Samarinda bermuara pada satu persoalan, yakni rusaknya tata air di wilayah hulu yang sebagian besar berada di Kutai Kartanegara (Kukar).
Akar masalah banjir bukan sekadar curah hujan tinggi, melainkan aliran sungai yang kian tak terkendali akibat perubahan bentang alam di kawasan Muara Badak, Sungai Bawang, hingga Sungai Lantung.
Hampir seluruh kawasan Samarinda Utara, koridor yang setiap tahun menjadi episentrum banjir, menjadi “wilayah penerima” limpasan air dari hulu Kukar.
“Hulu-hulunya berada di Badak Mekar, Sungai Bawang, Tanah Datar, sampai Muara Badak. Itu yang membuat Samarinda menjadi daerah tampungan terakhir,” terang Ketua Tim Walikota untuk Akselerasi Pembangunan (TWAP) Samarinda Syaparudin, Senin (1/12/2025).
Ia menerangkan bahwa jalur-jalur air tersebut terhubung dalam satu sistem besar yang akhirnya bermuara ke Desa Budaya Pampang sebelum mengalir ke Waduk Benanga dan kemudian membanjiri wilayah hilir Samarinda.
Salah satu titik paling krusial berada di Sungai Lantung, kawasan perbatasan Samarinda–Kukar.
Syaparudin menyebut bahwa di bagian hulu sungai itu terdapat konsesi perusahaan, salah satunya milik PT L*** H*****, yang menurut laporan Balai Wilayah Sungai (BWS) berkontribusi pada berubahnya karakter aliran.
“Kondisi hulu berubah. Ketika kapasitas serapan menurun, air lari ke sungai lebih cepat dengan volume lebih besar. Inilah yang membebani Karang Mumus,” ujarnya.
Ia juga menyoroti ketiadaan sistem tata kelola lintas wilayah.
Selama bertahun‐tahun Samarinda menangani banjir dari hilir, sementara hulu berada di luar kewenangan Kota Samarinda.
Kesepakatan awal antara Wali Kota Samarinda dan Bupati Kutai Kartanegara dinilai menjadi titik balik, tetapi Syaparudin menegaskan pekerjaan besar sebenarnya baru dimulai.
Untuk itu, ia mendorong pembentukan kolam retensi di kawasan Tanah Datar dan Badak Mekar.
Jika disepakati, folder air ini dapat mengurangi beban Sungai Karang Mumus pada musim hujan.
“Wilayah hulu Kukar harus punya kolam retensi besar. Kalau air tidak ditahan di hulu, sehebat apapun rekayasa hilir, Samarinda akan tetap kebanjiran,” tegas Syaparudin.
Selain titik tersebut, kawasan Loa Janan kilometer 8 juga disebut membutuhkan penataan aliran dan kemungkinan pembangunan kolam retensi baru, mengingat wilayah itu menjadi suplai limpasan bagi pemukiman yang kerap tergenang seperti Perumahan Borneo Gang Haji Saleh.
Di sisi lain, pemerintah juga menyiapkan langkah jangka pendek. Drainase di Jalan Suryanata akan direvitalisasi sepanjang 175 meter dalam waktu dekat.
“Revitalisasi ini hanya menyelesaikan kantong-kantong banjir lokal. Masalah besarnya tetap di hulu,” tutupnya. (lis)
