BERI.ID – Sekolah Rakyat Terpadu 57 yang beroperasi di bawah Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) Samarinda dalam kurun waktu tiga bulan ini, sejak program pendidikan berasrama diluncurkan pada September 2025, jumlah siswa yang awalnya 66 orang menyusut menjadi 56.
Yang menarik, penyebabnya bukan berasal dari kualitas sekolah, tetapi dari persoalan sosial-ekonomi keluarga yang sulit dikendalikan.
Ini menunjukkan rapuhnya fondasi pendukung program pendidikan inklusif ini.
Kepala Sekolah Rakyat Terpadu 57, Pahrijal, menegaskan bahwa seluruh proses belajar, layanan makan, hingga aktivitas asrama berjalan normal.
Bahkan para guru tetap mengajar dengan komitmen tinggi meski fasilitas belum ideal.
“Alhamdulillah tenaga pendidik bekerja penuh, meski sarana belum lengkap,” jelasnya, Senin (1/12/2025).
Salah satu penyebab terbesar penyusutan siswa adalah perpindahan domisili keluarga.
Ada anak yang sudah tercatat resmi, SK sudah turun, tetapi tidak pernah kembali mengikuti kelas.
“Beberapa murid tidak muncul lagi setelah keluarganya pindah. Secara administrasi masih terdaftar, tapi faktanya tidak datang,” ungkap Pahrijal.
Kondisi ini mengunci sekolah dalam situasi serba-sulit, tidak boleh menghapus nama tanpa prosedur, tetapi juga tidak bisa memaksa keluarga kembali ke Samarinda.
Satu kasus lain yang disorot sekolah adalah siswa SMP yang sepenuhnya kehilangan minat belajar.
Hingga dua bulan sekolah mencoba mendampingi, lingkungan asrama diikuti dengan baik, namun pelajaran tetap tak tersentuh.
“Anaknya ikut kegiatan lain, makan-minum kami penuhi, tapi ketika waktunya belajar ia menolak. Tidak ada perkembangan,” beber Pahrijal.
Setelah evaluasi, sekolah tidak mengambil tindakan sepihak, melainkan membuka dialog dengan keluarga.
Jalur PKBM akhirnya direkomendasikan karena lebih fleksibel bagi anak yang kesulitan mengikuti sekolah reguler.
Meski jumlah siswa berkurang, ritme akademik tetap berjalan:
– SD selesai menjelang siang,
– SMP hingga pukul 14.00 Wita,
– SMA sampai 15.00 Wita,
– Akhir pekan diisi aktivitas asrama.
Kurikulum harian ini menjadi fondasi pembentukan kebiasaan belajar terstruktur bagi siswa yang sebagian berasal dari latar belakang keluarga rentan.
Data penyusutan ini menggambarkan satu hal yang lebih besar, keberhasilan program tidak hanya ditentukan oleh kemampuan sekolah, tetapi juga oleh kesiapan keluarga untuk mendukung pendidikan jangka panjang.
Sekolah Rakyat 57 dapat menyediakan tempat tidur, makan, guru, dan pelajaran.
Tetapi ketika keluarga berpindah, tidak stabil, atau anak kehilangan komitmen, seluruh sistem bisa runtuh dalam hitungan minggu.
Program tetap berjalan, namun realitas sosial masih menjadi tembok besar yang belum sepenuhnya mampu diterobos. (lis)
