Akademisi Unmul Sindir Proyek IKN: Cantik dan Sibuk Berdandan, tapi Lupa Lingkungan Sekitar

Ibu Kota Nusantara (IKN). (Foto: Lisa/beri.id)

BERI.ID – Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul), Purwadi Purwoharsojo, menyatakan bahwa membangun bangsa tanpa dukungan anggaran yang memadai sama halnya dengan “bunuh diri”.

Dalam ulasannya, ia menyoroti program Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menurutnya terlalu fokus pada “gaya luar” sementara esensi pemberdayaan ekonomi lokal justru tertinggal.

“IKN ini seperti perempuan cantik, asyik berdandan dengan gaya sendiri tetapi lupa lingkungan sekitar,” ujar Purwadi, Rabu (29/10/2025).

Purwadi menilai kondisi fiskal Indonesia kini berada di titik kritis, dengan digambarkannya beban utang pemerintah yang semakin menumpuk sebagai sinyal bahaya bagi arah pembangunan nasional.

Tahun depan saja, jelasnya, pemerintah harus menanggung utang pokok sebesar Rp1.100 triliun, belum termasuk bunga yang mencapai Rp100 triliun.

Artinya, total beban pembayaran utang bisa menembus Rp1.200 triliun, sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sekitar Rp3.600 triliun. Dengan kondisi seperti itu, ruang fiskal untuk pembangunan menjadi sangat terbatas.

Purwadi menilai, situasi tersebut mendorong pemerintah terjebak pada dua pilihan, melakukan pemangkasan anggaran yang berdampak ke sektor publik, atau tetap menjalankan proyek-proyek besar yang tampak megah di permukaan, namun minim substansi ekonomi bagi rakyat.

Ia juga menyoroti ketimpangan antara ambisi dan realitas pertumbuhan ekonomi nasional.

Target 8 persen yang digaungkan pemerintahan baru dinilainya jauh dari realistis, sebab bahkan selama satu dekade kepemimpinan Presiden Joko Widodo, angka 7 persen pun tak pernah tercapai.

Pertumbuhan pun sempat hanya berkisar di level 4,9 persen, indikator ini menunjukkan bahwa ekonomi nasional tengah menurun daya dorongnya.

Dalam konteks itu, alokasi anggaran menjadi sangat penting, jika diabaikan akan berujung pada tekanan pajak terhadap masyarakat dan melemahnya daya beli.

“Penganggaran yang harus terkelola dengan baik, maka itu akan menjadi beban masyarakat lebih ringan. Nah, ketika situasinya beban negara berat, hari ini kan efek domino-nya ke mana-mana,” tegasnya.

Purwadi kemudian mengangkat isu bahwa meskipun IKN disebut sebagai “superhub ekonomi”, nyatanya pelibatan masyarakat lokal minim.

Ia menyebut contoh tender catering senilai Rp 10 miliar per hari, yang justru direbut vendor dari luar wilayah.

“Peluang seharusnya untuk BUMD, pengusaha lokal, namun tender berat, syarat sertifikat tinggi, akhirnya lokal jadi penonton,” ujarnya.

Ia juga menyinggung ketentuan legislatif, seperti perda yang menetapkan minimal 20 persen tenaga kerja IKN berasal dari lokal, namun realisasinya jauh dari harapan.

“Kalau sertifikatnya bikin orang lokal enggan ikut, ya sama aja bohong,” katanya.

Kondisi ini, tambahnya, membentuk paradoks, investasi besar, MoU luar negeri banyak, tetapi manfaat ekonomi ke daerah hampir tidak terasa.

Purwadi menyebut bahwa untuk Kalimantan Timur (Kaltim), seharusnya IKN bisa jadi ledakan ekonomi.

Namun kenyataannya ia melihat inkonsistensi, muncul inflasi di Kabupaten PPU dan Paser, sedangkan tujuh kabupaten/kota lainnya masih jauh dari konsep “pertumbuhan inklusif”.

“Penyakit ekonomi itu dua, inflasi dan deflasi. Sekarang keduanya muncul di wilayah kita,” ujarnya.

Bagi Purwadi, inti dari pembangunan besar seperti IKN bukan sekadar infrastruktur megah atau MoU besarmelainkan bagaimana ekonomi lokal tumbuh, masyarakat merasa diberdayakan, dan anggaran diarahkan ke aktivitas yang berpihak ke rakyat.

Tanpa itu, proyek besar akan menjadi “perempuan cantik berdandan”, menarik dilihat namun tak menyentuh warga sekitar.

“Pemberdayaan hanya kata-kata jika tak dibarengi kesempatan riil,” tutupnya. (lis)

Exit mobile version