BERI.ID – Pencairan dana melalui sistem Virtual Account (VA) untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dilakukan secara bertahap setiap 10 hari.
Setelah uang muka diterima, pihak mitra bersama Kepala Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) diwajibkan segera menyiapkan proposal baru beserta laporan pertanggungjawaban anggaran untuk periode berikutnya.
Dana uang muka yang disalurkan BGN kepada SPPG nilainya bervariasi di tiap daerah, namun secara umum berkisar di angka Rp450 juta per satuan pelaksana.
Apabila masih terdapat sisa dana, maka anggaran tersebut akan dibawa ke periode selanjutnya sebagai carry over.
Mekanisme berlapis ini dinilai Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, kurang efisien dan justru berpotensi memperlambat penyaluran program di lapangan.
Uang muka untuk dua minggu pertama tidak sebanding dengan kebutuhan riil pelaksanaan program.
Sebagai contoh apabila dihitung untuk target umum SPPG yang mengirimkan 3.500 porsi per harinya, maka membutuhkan Rp525 juta.
Selain mempersulit arus kas bagi penyedia, pola ini juga ditekankan Purwadi, berpotensi menghambat peluang partisipasi pelaku usaha lokal yang memiliki modal terbatas dan membuka celah bagi vendor besar untuk mendominasi, sementara masyarakat lokal tersisih.
“Nah, kalau yang ngurusi makanan bergizi dikasih DP gitu. Ya kalau dia punya duit yayasannya. Iya, akhirnya enggak nyampe yang tadi saya bilang di pemberdayaan masyarakat lokal itu. Sudah kayak siklus lingkaran setan gitu,” bebernya, Rabu (29/10/2025).
Lebih lanjut, Purwadi menyoroti kebutuhan standar gizi dan porsi dana MBG di Kalimantan Timur yang menurutnya perlu disesuaikan dengan karakteristik dan kapasitas fiskal daerah.
Ia mencontohkan skema kolaboratif yang bisa diterapkan, di mana APBN menanggung Rp10 ribu, provinsi Rp5 ribu, dan kabupaten/kota Rp5 ribu, sehingga tanggung jawab pembiayaan lebih merata dan program tetap berkelanjutan.
“Saya sudah bilang, idealnya porsi MBG di Kaltim itu minimal Rp25 ribu per anak. Karena kebutuhan gizi anak SD, SMP, dan SMA berbeda. Kalau Kaltim dengan APBD besar masih di bawah itu, ada yang salah dalam prioritasnya,” tegasnya.
Terlepas daripada hal tersebut, Purwadi juga menyoroti arah kebijakan pemerintah pusat yang menggandeng India dalam kerja sama teknis MBG.
Menurutnya, langkah itu tidak relevan dengan tujuan pemberdayaan ekonomi lokal.
“Kalau mau belajar bikin film, ke India boleh. Tapi untuk makan bergizi? India aja punya masalah kebersihan dan gizi sendiri. Kenapa tidak mendorong produk dan pelaku lokal saja? Penduduk kita 270 juta, bahan pangan melimpah,” ujarnya tajam.
Ia menegaskan, esensi MBG bukan sekadar membagikan makanan, melainkan membangun rantai pasok ekonomi yang sehat, transparan, dan berpihak pada warga sekitar sekolah
“Kalau uangnya Rp15 ribu tapi yang sampai di dapur cuma Rp5 ribu, ya jangan harap gizinya nyampe. Pisang aja setengah sisi enggak dapat. Ini bukan soal bagi-bagi roti, ini soal masa depan anak bangsa,” pungkas Purwadi. (lis)
