Sentil Kebijakan Menkeu Purbaya, Akademisi Kaltim Nilai Egois dan Sentralistik

Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo. (Foto: Lisa/beri.id)

BERI.ID – Dana Bagi Hasil (DBH) di Kalimantan Timur, dari total potensi dana sekitar Rp8,6 triliun, kini menjadi sekitar Rp1,6 triliun, akibat pemotongan yang dilakukan pemerintahan pusat, ini bahkan setara dengan pemangkasan hingga 77 persen.

Sebagai perbandingan, hanya untuk menanggung program sekolah gratis tahun depan saja diperlukan dana sekitar Rp2,1 triliun, jauh melebihi sisa DBH yang diterima.

Untuk itu, sistem perhitungan DBH ini tidak berpihak kepada daerah penghasil, dengan banyaknya potongan administratif dan beban pengeluaran wajib (mandatory spending) yang justru membuat daerah kehilangan porsi pendapatan yang semestinya.

Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menyebut kebijakan yang diambil Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, sebagai bentuk “egoisme fiskal” pemerintah pusat yang mengebiri hak daerah penghasil.

“Menurut saya egois dan sentralistik, semena-mena tanpa memberikan alasan yang jelas,” tegasnya, Sabtu (1/11/2025).

Ia menyebut, sikap pemerintah pusat yang seolah menyalahkan rendahnya serapan anggaran daerah sebagai alasan pemangkasan DBH adalah bentuk pengalihan isu.

Akar persoalan justru dinilainya, terletak pada tata kelola dana publik yang tidak transparan, baik di pusat maupun di daerah.

“Kalau bicara daya serap, memang rendah. Tapi itu bukan alasan untuk memotong hak daerah. Justru yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem penyaluran dan pengawasan dana, bukan menariknya ke Jakarta,” tegasnya.

Purwadi bahkan menyebut sikap Kemenkeu dan Purbaya sebagai contoh nyata sentralisasi gaya lama yang mengabaikan semangat otonomi.

Ia menilai kebijakan fiskal Indonesia masih terjebak dalam logika kolonial, pusat menguasai sumber daya, sementara daerah hanya menadah ampas.

“Kita ini seperti mencuci piring kotor setelah pesta orang pusat. Yang menikmati kemewahan adalah oligarki di Jakarta, sedangkan rakyat di Kaltim masih berhadapan dengan kemiskinan, stunting, dan jalan rusak,” sindirnya.

Ia mengingatkan, dengan dana sebesar Rp5 triliun yang kini masih ‘ngendon’ di kas daerah tanpa penjelasan pasti, publik berhak tahu di mana uang itu disimpan dan siapa yang menikmati bunganya.

“Kalau Rp1 triliun saja bunganya bisa Rp60 miliar per tahun, bayangkan berapa besar nilai yang berputar tanpa kejelasan akuntabilitas. Kita minta pejabat publik dan DPRD jujur, uang itu di mana, di giro atau deposito, dan siapa yang mengendalikannya,” kata Purwadi.

Dalam pandangannya, masalah DBH tidak bisa dipisahkan dari moralitas pejabat publik daerah yang lemah dan tidak berani bersuara.

“Kita ini sering kalah sebelum berperang. Belum sempat menembakkan peluru argumentasi ke pusat, kita sudah tidur duluan. Padahal rakyat butuh pembelaan nyata,” ucapnya dengan nada geram.

Ia menyoroti pula ketimpangan logis antara anggaran besar yang dikelola daerah dan capaian pembangunan yang minim.

Daya serap APBD Kaltim yang masih di bawah 60 persen hingga akhir Oktober dianggapnya cerminan birokrasi yang lamban, tidak efisien, dan cenderung takut mengambil keputusan.

“Sementara pejabatnya bergaji dan bertunjangan besar, pegawai honorer di pedalaman banyak yang belum dibayar. Itu ketidakadilan struktural,” ujarnya.

Ia menilai, jika pemerintah pusat ingin memperkuat integrasi fiskal, semestinya diawali dengan kejujuran dan keterbukaan data.

“Jangan semua dikontrol dari Jakarta, seolah hanya mereka yang tahu bagaimana uang rakyat harus dibelanjakan. Kaltim, Papua, dan daerah penghasil lain harus dilibatkan penuh dalam formulasi kebijakan fiskal nasional,” katanya.

Purwadi pun mendesak agar DPR RI dan kepala daerah di Kaltim bersatu menyuarakan perlawanan fiskal secara konstitusional.

“Kalau perlu, setahun saja Kaltim stop setor hasil tambang ke pusat, biar mereka tahu rasanya tanpa sumbangan daerah. Faktanya, uang yang ditahan di pusat lebih banyak tidak terserap dan malah mengendap dalam sistem perbankan,” tandasnya.

Sempat menyinggung rendahnya serapan anggaran di daerah, Purwadi paparkan rincian dana pemda yang mengendap di perbankan, sebagai berikut:

1. Provinsi Kalimantan Timur: Rp4.967.270.000.000
2. Kabupaten Berau: Rp1.590.970.000.000
3. Kabupaten Kutai Kartanegara: Rp500.500.000.000
4. Kabupaten Kutai Barat: Rp2.369.100.000.000
5. Kabupaten Kutai Timur: Rp2.031.740.000.000
6. Kabupaten Paser: Rp588.490.000.000
7. Kota Balikpapan: Rp1.131.480.000.000
8. Kota Bontang: Rp883.060.000.000
9. Kota Samarinda: Rp469.980.000.000
10. Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU): Rp 283.110.000.000
11. Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu): Rp652.270.000.000

Total dana mengendap di Kalimantan Timur: Rp 15.467.970.000.000 (lis)

Exit mobile version