BERI.ID – Fenomena “Tepuk Sakinah” yang sempat viral di media sosial ternyata memiliki akar yang jauh lebih dalam daripada sekadar hiburan dalam bimbingan perkawinan.
Di balik lirik dan irama sederhana itu tersimpan fondasi penting tentang bagaimana membangun keluarga yang kokoh, penuh kasih, dan saling menghargai.
Tepuk Sakinah sebenarnya bukan ritual baru, melainkan metode ice breaking, yang sudah digunakan bertahun-tahun dalam pelatihan calon pengantin.
Lagu tersebut dirancang sebagai sarana edukatif untuk mempermudah peserta memahami lima pilar utama keluarga Sakinah, diantaranya:
1. Prinsip berpasangan;
2. Janji yang kokoh (mitsaqan ghaliza);
3. Saling cinta dan menjaga;
4. Saling ridha;
5. Musyawarah gagasan itu lahir dari diskusi para ahli psikologi keluarga dan hukum keluarga Islam.
Penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sungai Pinang, Andi Imran Paturusi, menjelaskan bahwa tepuk tersebut sebenarnya bukan sesuatu yang wajib, apalagi untuk dinyanyikan saat akad.
Imran juga menjelaskan, Kementerian Agama pusat telah mengimbau agar Tepuk Sakinah tidak dinyanyikan pada saat prosesi akad nikah untuk menjaga kesakralan momen.
Lagu tersebut hanya dianjurkan sebagai bagian dari kegiatan pelatihan pra-nikah.
“Ketua Penghulu Indonesia sudah menegaskan, boleh dinyanyikan saat pembinaan, tapi jangan di prosesi akad. Karena akad adalah perjanjian suci. Jadi, konteksnya harus dijaga,” tegasnya, Sabtu (25/10/2025).
Tepuk Sakinah hanyalah cara menyegarkan suasana dalam bimbingan perkawinan yang biasanya berlangsung seharian penuh.
“Esensinya tetap pada pemahaman makna lima pilar keluarga Sakinah,” ujar Imran.
Kelima pilar yang dimaksud, lanjutnya, meliputi prinsip berpasangan, janji yang kokoh (mitsaqan ghaliza), saling cinta dan menjaga, saling ridha, serta musyawarah.
Semua itu dirumuskan berdasarkan kajian para ahli psikologi keluarga dan hukum Islam, serta memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an.
“Kalau kelima prinsip ini dipegang, insyaallah rumah tangga akan kuat. Misalnya, mitsaqan ghaliza itu bukan janji biasa, tapi perjanjian agung di hadapan Allah,” tuturnya.
Artinya, lanjut dia, pernikahan harus dijaga, bukan sekadar formalitas. Begitu juga prinsip musyawarah, yang menjadi kunci menyelesaikan setiap perbedaan dengan kepala dingin.
Imran menegaskan, tujuan utama pembinaan perkawinan bukan hanya menyiapkan pasangan agar sah secara hukum agama dan negara, tetapi juga membekali mereka secara emosional dan spiritual.
Ia menuturkan, rata-rata KUA di Samarinda melayani hingga 50 pasangan per bulan, tergantung momen tertentu seperti Ramadan, bulan haji, atau Maulid Nabi.
Karenanya, antusiasme calon pengantin terhadap konsep keluarga Sakinah terus meningkat, bahkan banyak yang sudah hafal lirik Tepuk Sakinah, sebelum mengikuti pembinaan.
Namun, perlu diketahui bahwa lima pilar utama keluarga sakinah ini wajib diketahui seluruh pasangan yang ingin melangkah ke jenjang serius, hanya saja ada yang dijabarkan melalui penjelasan, ada yang melalui tepuk.
“Ada yang datang sudah bilang, ‘Pak, saya sudah hafal lagu Sakinah!’ Tapi yang terpenting bukan hafal, melainkan paham maknanya. Kalau mereka tahu arti tiap kata, itu sudah lebih dari cukup,” papar Imran.
Bagi Imran, makna terdalam dari Tepuk Sakinah adalah tentang keseimbangan.
Keluarga tidak dibangun oleh satu pihak saja, melainkan oleh dua individu yang saling melengkapi, menerima perbedaan, dan bersedia berkomunikasi.
“Kalau pasangan saling ridha, saling berbuat baik, dan musyawarah, itu sudah separuh jalan menuju keluarga Sakinah. Tidak semua hal harus sempurna, tapi harus ada usaha untuk memahami,” tuturnya.
Ia pun berharap masyarakat tidak hanya melihat Tepuk Sakinah dari sisi viralnya semata, tetapi memahami bahwa nyanyian sederhana itu adalah pintu masuk menuju kesadaran yang lebih besar, tentang bagaimana rumah tangga seharusnya dijaga.
“Negara hadir bukan untuk mengatur cinta, tapi membantu agar cinta berjalan dengan nilai-nilai yang benar. Dan Tepuk Sakinah, hanyalah salah satu cara untuk mengingatkan itu,” pungkasnya. (lis)
